BUBUR AYAM

Kemarin pagi saya muter-muter cari penjual bubur ayam. Butuh sebungkus karena ada anggota keluarga yang sedang tidak enak badan. Biasanya gampang, tinggal njujug ke pasar lama, di pojok perumahan, ada pedagang kaki lima yang stand by sejak awal pagi. Tapi ini bulan Ramadan, banyak bakul yang memilih tutup.

Tak putus asa saya geser ke kawasan dekat Polresta. Juga tidak jualan. Pelan-pelan kuselusuri jalan-jalan lain sambil tolah-toleh barangkali ada penjual bubur. Hingga di depan RSUD Sidoarjo dan pasar Larangan tak kunjung kudapat apa yang kucari. 

Lanjut ke GOR hingga hingga Pondok Pinang juga nihil.  Seharusnya saya ngetik di hape untuk mencari via online. Tapi dasar orang gaptek, sehingga spontanitas saya masih bernuansa jadul, mencari secara manual di luar rumah, di daerah sekitar pasar. 

Bukan bubur yang kutemukan di beberapa tempat. Umumnya hanya soto dan mie ayam. Masih ada sih penjual nasi bungkus di sudut depan SPBU Jl. Pahlawan. Capek keliling akhirnya saya balik pulang. Tak lupa beli makanan substitusinya, beberapa potong roti di toko Erine dekat rumah. 

Kejadian itu mengingatkanku kembali akan sebuah kesadaran. Bahwa kehadiran pedagang makanan di siang hari Ramadan tetap diperlukan oleh sebagian orang, termasuk saya tadi. Maka imbuan, apalagi paksaan, agar pedagang menutup warungnya jelas berlebihan, kecuali bakulnya sendiri yang menghendaki. 

Ada banyak kalangan yang membutuhkannya, dan kita tak boleh menafikannya, hanya lantaran  dorongan ego agar mereka menghargai mayoritas orang yang sedang berpuasa. Sebab jelas akan merepotkan banyak pihak. Lha wong butuh bubur ayam saja susah nyarinya. (*) 

adrionomatabaru.blogspot.com

foto: kompas.com

Previous
Next Post »