TUKANG SAYANG

 Kebanyakan orang masih menyebutnya sebagai tukang patri atau tukang soder, walau kini dia tidak selalu membawa perangkat alat patri. Keahliannya memperbaiki alat-alat rumah tangga yang rusak. Mengganti pantat dandang jebol, menambal panci bocor, ceret, rantang, hingga sablukan.  Segala macam kebocoran bisa diakali dan diatasi sama dia (barangkali yang tidak bisa dia lakukan cuman satu: menambal kebocoran anggaran hehe).

Inilah profesi jadul yang ternyata masih beredar hingga kini. Betapapun, dulu profesi ini pernah jaya pada zamannya. Toh kini masih ada saja yang membutuhkannya. Buktinya, Pak Ibnul Hajar Santoso, tetanggaku penjual bandeng presto, butuh memperbaiki sarangan panci yang rusak. Dan tukang ini cekatan menggarap semua kerjaan costumize dan by order seperti itu.

Tukang patri adalah salah satu profesi yang tergusur oleh zaman. Peluang kerjanya terdistrupsi oleh aneka peralatan rumah tangga yang canggih dan tidak butuh jasa tukang tambal seperti dirinya. Toh pak tukang yang satu ini tidak peduli (atau memang tak ada pilihan lain?).

Tetap dijajakan skill yang out of date itu di saat zaman serba instan, di tengah pandemi pula. Dijalani hari-hari, berikhtiar semampunya dengan keyakinan bahwa pasti ada orang yang  memanfaatkan jasanya. Tugasnya hanyalah berikhtiar semata,  sedangkan rezeki Gusti Allah yang mengaturnya. Bahkan tersebab prasangka baiknya itu, sangat mungkin membuat Tuhan bermurah hati memberikan rezeki yang berkah baginya.

Dia bukannya pasrah menghadapi keadaan. Faktanya kini dia beradaptasi dengan membawa gerobak motor untuk keliling menjajakan jasanya, tidak lagi seperti masa lalu tukang patri yang memikul alat soder beserta tungku pembakarnya.

Hanya suara penanda khas yang dipertahankan. Menggunakan lempengan seng tebal yang dirangkai. Mirip alat kecrek yang biasa dipancal kaki dalang saat memainkan wayang kulit. Bila alat itu dihentakkan akan terdengar bunyi crek...crek..crek... !

Entah kenapa, dalam terminologi bahasa Jawa, tukang patri disebut dengan julukan “Tukang Sayang”. Seperti halnya saya tidak tahu, mengapa pengemudi cikar (pedati yang ditarik sapi) dinamakan “Bajingan”.

Tetapi tukang sayang itu memang penyayang terhadap peralatan rumah tangga. Dia sigap memperbaiki suatu barang agar dapat berfungsi kembali. Peran mereparasi, memperbaiki, dan memelihara inilah yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Kondisi di mana telah berkembang budaya "sekali pakai lalu buang."  Situasi yang kerap diparodikan pelawak ludruk dengan berlagak sombong dia mengatakan, "nek montorku bejat yo tak buwak, aku tuku maneh... wong sugih kok."

Kiranya spirit tukang sayang yang terampil merawat, memelihara, dan memperbaiki sesuatu perlu tetap dibudayakan, meski ada dana untuk membeli barang yang baru.

Kini kulihat Pak Tukang Sayang itu sudah menyelesaikan pekerjaannya. Setelah mendapat upah dia pergi mengendarai motornya dengan perlahan, tak lupa membunyikan kecrek khasnya.

 Crek...crek..crek... crek... crek.. crek...!!!

Suaranya berirama. Entah seirama dengan dendang hatinya yang riang atau menyuarakan irama hidupnya yang monoton.

Crek... crek..crek...Crek... crek... crek....!!!

Suaranya semakin surut  di telinga karena dia semakin menjauh. Adakah profesi tukang sayang juga  ikutan hilang ditelan gemuruh teknologi canggih?

 adriono.matabaru.blogspot.com



Previous
Next Post »