SETAHUN DALAM KERAGAMAN



Ada satu yang khas di Institut Pertanian Bogor (IPB): mahasiswa tingkat pertama wajib tinggal di asrama kampus.  Kebijakan yang diterapkan sejak 2009 itu disebut-sebut berdampak positif, karena kegiatan pembekalan mahasiswa tidak terbatas pada saat kuliah, namun berlanjut hingga di asrama. Berbagai program edukatif bisa berjalan efektif karena mereka tinggal bersama di sebuah dormitory.

“Manfaat yang paling nyata adalah sekarang tidak ada lagi tawuran mahasiswa antarfakultas. Rata-rata Indeks prestasi komulatif (IPK) mereka juga meningkat. Keterlambatan masuk kelas juga dapat ditekan, rata-rata sudah kurang dari lima menit,” kata Dr. Ir. Bonny P. Spekarno, M.S., Direktur Biro Umum IPB kepada kami yang tengah berkunjung ke kampus dan asrama itu.
 
Melalui asrama upaya pembauran dan pembentukan karakter dapat dilaksanakan dengan aktivitas nyata, bukan sekadar wacana melalui ceramah. Setiap tahun asrama IPB kedatangan sekitar 4.000 penghuni baru. Mahasiswi menghuni enam blok asrama putri sedang mahasiswa menempati empat blok asrama putra.  Setiap kamar dihuni empat orang. Lokasi asrama berada di dalam areal kampus di jalan Dramaga, Bogor.

Pemilihan kamar tidak boleh sekehendak hati mahasiswa sendiri, tetapi ditentukan oleh pengelola asrama. Justru di sini awal dari sebuah edukasi. Mahasiswa yang berasal dari Sabang sampai Merauke tersebut dibaurkan sehingga suasana multikultur dan relasi sosial yang berkebhinekaan langsung tercipta. Benar-benar sebuah miniatur Indonesia. Apalagi mahasiswa IPB nyaris berasal dari seluruh penjuru Nusantara, kecuali Pulau Miangas dan Rote, karena hingga sekarang belum berhasil didapat input calon mahasiswa dari dua kawasan tersebut.

“Jadi, tidak akan ada ceritanya anak satu kota asal, satu SMA, dan satu prodi akan kumpul satu kamar,”  kata Dr. Zaenal Abidin, M. Agr, Asisten Direktur Asrama, menggambarkan heterogenitas  itu.  Penempatan mahasiswa itu sudah didasarkan pada perpaduan aspek perbedaan suku, tingkat sosial ekonomi, asal provinsi, aspek desa-kota, hingga keragaman agama.

Tentu, bagi sebagian mahasiswa, pencampuran seperti ini dapat membuat mereka tidak nyaman. Tetapi itu umumnya hanya kondisi awal, sebab setelah saling berinteraksi mereka justru menemukan banyak ilmu dan hikmah baru. Mulai memahami dan mau menenggang perbedaan yang ada.

“Saya dari Padang, sukanya masakan pedas. Teman sekamar saya dari Jawa sukanya yang manis-manis. Tapi sekarang saya sudah bisa makan manis, dan lidah teman saja juga sudah doyan yang pedas-pedas,” kata mahasiswi warga asrama.

Tapi toh ada juga mahasiswa yang tetap tidak bisa kerasan tinggal di tengah keragaman pribadi. Pemberlakukan jam malam juga dianggap sebagai pengekangan. Maka diam-diam mereka memilih solusi sendiri, kerap tidur di luar asrama. Apalagi bagi mereka yang domisili aslinya di Bogor dan sekitarnya.
Fasilitas standar yang dipunyai asrama, juga kerap dijadikan alasan ketidakpuasan. Para orang tua juga turut nimbrung dengan bersiap menyumbang AC atau fasilitas elektronik tambahan lain demi kenyamanan putranya. Tetapi pihak kampus tetap menolak, sebab semua “keterbatasan” itu juga merupakan bagian dari pembelajaran dan pembentukan kemandirian.

“Sekarang monster parent itu begitu kuat pengaruhnya. Tapi tetap saya jawab: biarlah anak Bapak belajar hidup seperti ini. Akan kami didik anak Bapak menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. Dan alhamdulillah di akhir masa wajib asrama, para orang tua itu justru mengucapkan terima  kasih karena telah terjadi perubahan positif pada anaknya,” kata Pak Zaenal.(*)

adrionomatabaru.blogspot.com

Keterangan foto: Kampus IPB dan asrama mahasiswa.



s

Previous
Next Post »