RAMA SHINTA DI BAWAH PURNAMA


Rembulan masih bundar menawan di atas langit Candi Prambanan. Cahayanya menerangi relief-relief candi yang dibuat pada abad 6 Masehi, di mana sejumlah panelnya menyajikan episode kisah mashur Ramayana. Antara lain adegan Rahwana menculik Shinta, kera putih Anoman membakar kerajaan Alengka, pertempuran Sugriwa-Subali, hingga gugurnya Kumbakarna.

Lalu, di malam Jumat kemarin, serial adegan yang terpahat selama puluhan abad itu, menjadi hidup kembali di panggung terbuka Trimurti, Taman Wisata Candi (WTC) Prambanan, dalam bentuk sendratari Ramayana yang indah.

Penonton yang terdiri dari wisman bule, turis lokal, hingga rombongan siswa, sudah bersiap menunggu pergelaran dibuka. Duduk menghadap panggung besar dengan latar belakang candi terindah di Asia Tenggara itu. Kehadiran purnama yang bertengger di kanan atas panggung begitu berarti.

Inilah sebuah adikarya seni ciptaan local genius Nusantara. Kisah import yang jauh berasal dari mancanegara India mampu diolah, diblended, diinternalisasi, lalu diekspresikan sehingga lahir sebuah seni pertunjukan baru, yang terasa begitu Jawa. 

Kelembutan perempuan Jawa tergambar dalam gemulai gerak dayang-dayang di taman Argasoka. Kecakapan olah kanoragan terperagakan dalam setiap adegan perang tanding. Di tangan seniman tari kita, perkelahian tersaji bukan sebagai sebuah kekerasan, tetapi sebuah keindahan yang gagah, sebuah jalan bakti para ksatria membasmi keangkaramurkaan.

Sendra tari mengalir komunikatif selama dua jam, memaparkan kisah penuh falsafah. Tentang kasih romantis Rama Shinta. Tentang wanita yang tergoda keindahan kijang kencana. Tentang keserakahan Rahwana, tentang pengorbanan burung Jatayu. Tentang balas budi pasukan kera, hingga tentang bela negara ala Kumbakarna. Dan tentu saja tentang kegagahberanian Anoman yang membakar kerajaan musuh menjadi lautan api.

Api benar-benar berkobar di panggung. Suara gamelan ngungkung mengekspresikan situasi chaos dengan begitu ekspresif. Tata lampu  modern, teknologi lampu spot follow  yang dapat mengikuti gerak setiap tokoh sentral, kian menyempurnakan performance seni klasik itu. Sungguh bangsa kita sangat brilian dalam mencipta sebuah adikarya. Hanya kita saja yang kadang kurang begitu perhatian.

Beruntung sebelum pergelaran saya berkesempatan diajak menjenguk suasana belakang panggung oleh Bapak Ahmad Muchlis, salah seorang pengelola dari PT TWC (Persero).  “Pengisi balet  Ramayana ini berasal dari 8 grup sanggar tari yang berada di Yogyakarta sini. Mereka tampil bergantian,” katanya.

Dikatakan, pihaknya terus berupaya menyempurnakan kualitas pergelaran dan menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Di antaranya melakukan peringkasan adegan dari delapan babak hingga menjadi enam babak. Ke depan kapasitas panggung terbuka ini akan diperluas lagi. “Kasihan, kalau sedang ramai, penonton terpaksa kami berikan kursi tambahan,” katanya.

Begitulah. Di bawah purnama, epos Ramayana itu seolah diwedar kembali. Demi mengabarkan tentang nilai-nilai yang tidak lekang oleh zaman.  (adrionomatabaru.blogspot.com)

Sapa: Sukemi, Luluk, oentari, Syahrafi, Nur Ida, Diena, Gus Fatoni, Indra sari, alifia,  lailatri


Previous
Next Post »