Setiap kota punya langgamnya sendiri. Begitu juga
Yogya.
Makanya kupelankan langkah, karena di sini sang
waktu tak suka jalan tergesa.
Makanya kudekati Pak Radji, coba-coba belajar nabuh
gamelan gender.
Ngelaras rasa,
rengeng-rengeng melantunkan tembang Jawa:
Aja sok
gampang janji, wong manis
yen to amung
lamis
Becik
aluwung prasaja, nimas
Ora agawe
cuwa.
Pesan “jangan gampang janji manis” terasa relevan
pada tahun politik sekarang ini. Tetapi masalahnya: mana ada orang sekarang tersentuh
piwulang tembang? Bahkan bagi politisi, janji tidak wajib ditepati. Komitmenpun
boleh diingkari. (Ah, mbok ya jangan pakai istilah “diingkari”. Taktislah sedikit,
pilihlah diksi “diperbarui”). Ya, janji dapat “diperbarui” bergantung kalkulasi
kepentingan dan dinamika keadaan.
“Akeh tuladha
kang demen cidra uripe rekasa.”
(Banyak contoh, orang yang gemar ingkar hidupnya sengsara.)
Tapi masalahnya: mana ada koruptor takut kuwalat, gentar
laknat? Saat dibui pun mereka tidak sengsara-sengsara amat. Dengan muslihat, aneka
fasilitas mewah masih mudah didapat.
Lantas closing tembang, “milih
sawiji ngendi kang suci tanggung bisa mukti”, masihkah punya relevansi, Pak
Radji?
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon