INI TALKSHOW, Menghibur atau Mempedayai?



DI NAMPAN Maya (asisten rumah tangga yang cantik) terdapat dua jenis teh. Satu teh untuk tamu pria, namanya teh asoy geboy. Sedang jenis teh satunya lagi, khusus untuk bintang tamu wanita, namanya teh bohay.
“Silakan diminum? Ini namanya teh bohay…” ujar tuan rumah, Sule Sutisna. Para bintang tamu segera mengangkat gelas, tapi belum sempat menyeruput hidangan, puluhan penonton di studio Net keburu menyanyi sambil bergoyang heboh:

                “Bohaayyy …teh bohay buatan Maya.
      Teh bohay yang aku suka,
      Teh Maya yang aku cinta…… 
      Bohaayyy …teh bohay buatan Maya.”

Mungkin sudah ratusan kali adegan itu diulang, tetapi toh kita sebagai pemirsa tetap saja  ngakak dibuatnya. Ini agak aneh sekaligus mematahkan teori humor yang diucapkan Raditya Dika. Menurut juri Stand-up Comedy ini, sebuah kelucuan akan muncul karena kejutan atau ketidakterdugaan.
Tapi ini kok lain, Dit. Makin diulang-ulang kok ya malah  lucu. Apa repetisi justru menjadi syarat dari lucunya komedi? Atau jangan-jangan kita yang sudah tidak lagi menuntut kebaruan sebuah lawakan. Tak ambil pusing, yang penting ha-ha-hi-hi hepi. (Atau alternatif lain: kita dengan senang  hati menyanyikan lagu teh bohay karena diam-diam berkhayal punya “asisten” sebening Maya?).
                Ya, pada setiap episodenya, acara Ini Talkshow banyak menyajikan pengulangan di sana-sini,  meski demikian tetap masih banyak penggemarnya. Anak saya, salah satu penonton setianya, selalu terpingkal-pingkal bila melihat ulah Pak RT, Haji Bolot (yang sebetulnya juga itu-itu saja).
Jadi, orang boleh berdebat soal kualitas sebuah tayangan. Kita boleh selisih pendapat soal kriteria dan bagaimana seharusnya sebuah talkshow digelar. Tetapi programnya Sule-Andre ini mungkin sebuah perkecualian. Atau boleh jadi ini memang bukan acara talkshow an sich tetapi lawak dengan medium talkshow. Kalau yang terakhir ini dipakai sudut pandang. Ya sudah, namanya lawak semua akan dimuarakan kepada tawa.
Maka tak penting lagi konten materi yang diperbincangkan antara host dengan narasumber. Padahal ini esensi sebuah talkshow. Akibatnya beberapa narsum tampak bingung bahkan sebel, karena tidak dieksplorasi,  tidak ditanya apa-apa kecuali pertanyaan sekadarnya dan kadang tak perlu jawaban. Umpamanya: “Anda punya talenta musik demikian hebat, kenapa Anda tidak mencoba usaha jualan pulsa?”
Pernah ketika bertemu tamu pemuda yang memiliki 23 gelar akademik, Sule dengan enteng bertanya,”Waktu ngambil semua gelar itu Anda sedang waras kan?” Tapi pada akhirnya semua narasumber harus sadar diri, ini bukan talkshow betulan, jadi dia harus siap larut mengikuti arus suasana yang kerap ngelantur keluar kendali.
Kendati demikian, betapapun ada banyak pelajaran yang dapat dipetik dari fenomena Ini talkshow. Sule membalikkan pakem tayangan talkshow. Seorang host seharusnya smart, berwawasan luas, dan goodlooking. Saya tidak berani menilai, untuk tiga kriteria ini Sule mendapat skor berapa?  Bahkan Sule sering dibikin mati kutu, ketika perbincangan dengan narasumber sudah berkembang serius. Bila sudah “terpojok” seperti itu segera bola dilempar ke co-host: “Saudara Andre, silakan bertanya…” 
Inilah kekuatan dari kreativitas. Melalui kreativitas, keterbatasan justru bisa diakalin, bahkan menjadi kekhasan dan kekuatan Sule. Gagasan membuat jabatan “konsultan-host” untuk melapis host adalah gagasan brilian.  Agaknya mirip kasusnya dengan Tukul yang konon gampang tidak fokus dengan benang merah program sehingga diciptakan solusi kreatif yang kemudian populer. Yaitu mengajak dirinya dan pemirsa untuk “kembali ke laptop.”

Kuliner Ndeso
Aspek positif lainnya dari tayangan stripping di stasiun televisi Net ini adalah kemampuan mencampuradukkan antara yang elite dengan yang ndeso, mengacaukan sesuatu yang bergengsi dengan yang rendahan. Ini Talkshow telah mendekontruksi banyak hal sehingga mengail tawa. Makanan tradisional milik kaum bawah diangkat menjadi candaan hingga akrab di telinga semua kalangan.
Coba simak. Lagu Love Heart yang berkelas diplesetkan jadi lagu “lemper”.  Beberapa nomor rock and roll yang rancak justru “dirusak” dengan syair jajan gorengan bala-bala.  Kidung karya lama Bram tiba-tiba kondang lagi menjadi lagu Jagung Bakar. Preman-nya Ikang Fauzi juga diplintir menjadi lagu ketoprak. Lirik Sakitnya Tu di Sini diselewengkan menjadi Satenya Tu di Sini.
Lihatlah berbagai jenis kuliner daerah yang awalnya asing pun didendangkan dan tiba-tiba menjadi sesuatu yang “kita banget”. Semua disajikan mulai dari kupat tahu, lotek, rujak, somay, hingga cincau. Cincau-cincau karet…. cincau sampai lengket. Dan yang paling direspon pemirsa tentu suara Mang Saswi saat mendendangkan refrain lagu minuman herbal tradisional, Bandrek:

Oh bantrek..oho… cap jahe ora po po
Ini cuma seribu... enak campur ubi cilembuuuu.

                Terus terang, setiap saya nonton tayangan yang digemari banyak orang, apapun tayangan itu, saya selalu tergoda untuk menggantungan harapan yang lebih terhadap tayangan tersebut. Saya jadi punya ekspektasi dengan berandai-andai: Ya, andai saja tontonan dengan jutaan pemirsa itu tidak mandek sebatas hiburan tetapi memberi nilai plus, punya kemanfaatan ganda, serta memberi inspirasi. 
Acara yang sudah cantik seperti Ini Talkshow tinggal ditambahi sedikit muatan edukatif atau motivasi positif tentu akan lebih ciamik.  Misalnya host mau melontarkan satu dua pertanyaan yang lebih berkualitas dan menggugah orang untuk meneladani sisi positif narasumber. Atau mengundang public figur yang benar-benar inspiratif, bukan sekadar selebritis.
Tentu tambahan tersebut dalam takaran yang benar-benar proporsional. Dan, saya tahu serta mengalami, membuat program teve yang menghibur sekaligus mendidik bukanlah perkara muda. Sebab tak jarang sebuah tayangan yang sudah demikian menghibur begitu disisipi pesan-pesan moral yang normatif dan menggurui, justru menjadi menyebalkan.
Begitulah harapan saya sebagai pemirsa. Harapan yang kuat di saat televisi kian didominasi oleh tayangan-tayangan yang tidak serius, jogetan, bergibah, atau debat kusir tanpa etika. Padahal televisi adalah sarana superstrategis bagi pengembangan wawasan dan pembentukan perilaku orang. 
Apakah harapan saya ini berlebihan? Kalau dianggap berlebihan, ya sudah, kita ikuti saja pesan Sule sebelum jedah iklan: “Nang kene wae……!
Adriono
Penulis adalah pemirsa teve, pemerhati masalah sosial budaya.
Sumber foto: youtube.com.


Previous
Next Post »