BEGAL LATEN



KINI kata begal tengah naik daun. Dalam sehari entah berapa ribu kali dikutip di media cetak maupun online atau penyiar tivi. Kalau Sampeyan iseng mengetik kata begal di mesin “mbah google” maka akan muncul sekitar 6,7 juta lebih kata itu yang siap diklik. 

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba kata begal menjadi demikian populer. Bagi orang Jawa, apalagi usia sepantaran saya,  kata begal sangat  familier di telinga. Entah bagi orang di luar suku Jawa. Tapi dalam kamus Bahasa Indonesia ternyata kata yang bermakna penyamun itu juga tertera.

Biasanya  kata begal ini bersanding  dengan dua kata padanannya:  brandal dan kecu. Dulu banyak lakon ludruk dan ketoprak mengangkat tema kejahatan para begal ini.  Biasanya tidak menggunakan kata begal tetapi diganti dengan kata kampak atau ampak-ampak, seperti lakon Kampak Banyu Pahit atau Ampak-ampak Singgelopuro. Dalam jagad wayang kulit, begal selalu ada di hutan siap menghadang para satria. Dan begal yang paling pandai lincah bermain pedang  dan tidak pernah menang adalah Buto Cakil.

Kata begal sangat dekat dengan jegal, bahkan mungkin semakna.  Begal adalah penyamun yang menghadap mangsanya di tengah jalan. Mereka merampas harta milik korban. Jegal juga demikian. Sebuah perbuatan yang membuat langkah orang jadi terhambat, bahkan bisa terjungkal jatuh. Mirip efek sliding teckling yang dilakukan pemain belakang  terhadap striker dalam arena sepakbola.

Tapi fenomena begal memang sudah pada level yang memrihatinkan. Begal tambah ugal-ugalan. Ratusan begal telah berhasil diringkus polisi, tetapi itu belum cukup untuk meredakan waswas pengendara motor. Di Jakarta sampai muncul gerakan, lewat medsos, mengajak para pengendara motor untuk pulang kerja secara berjamaah. Konvoi bareng-bareng. Tidak menjamin 100% memang, tetapi setidaknya bisa mengurangi rasa takut ketimbang melaju sendirian. Bila sekelompok warga sampai mencari-cari sendiri cara untuk melindungi keselamatannya,  terus ada di mana  sampeyan Pak Polisi? (di situ kadang saya merasa sedih…).

Ada banyak faktor penyebab maraknya begalan ini. Setiap sudut pandang menyajikan argumennya sendiri-sendiri. Ada yang mencoba mengaitkan eskalasi kejahatan begal dengan tekanan ekonomi dan minimnya lapangan kerja.  Kalau tak punya ijazah, tak skill apa-apa, kalau mau jualan di trotoar selalu diobrak satpol PP, kalau mengasong  dan ngamen di kereta juga diusir, lantas mau melakukan apa?

Kesenjangan ekonomi dan lemahnya penegakan hukum juga memantik kenekadan. Pameran kekayaan, banyaknya motor baru berseliweran di jalanan lantaran kemudahan mendapat kredit,  agaknya mengusik  sekelompok orang  untuk merampasnya.  Merosotnya moralitas, banyaknya para pejabat yang korup, kian memberi contoh bahwa menjadi maling dan rampok adalah sebuah kelaziman.  Mencuri adalah perbuatan yang tidak terlalu hina. Bila tertangkap polisi, itu bukan aib, cuma sedang sial saja, sebagaimana dialami semua profesi lain.

Kaum agamawan memandang femomena begal sebagai pertanda rapuhnya iman. Lalu mereka melontarkan solusi yang kelewat normatif: Segera sadar dan bertobatlah! Titik. Tidak ada panduan yang lebih manusiawi, kalau mereka tidak mbegal, lantas mereka mau kerja apa? usaha apa?

Begal Pikiran

Ketika ancaman begal belum ada tanda-tanda mereda, sebetulnya masih ada ancaman begal lain, yang bersifat laten tetapi tidak kalah bahayanya. Dialah begal pikiran.  Jika begal konvensional suka melakukan tindak kriminal disertai pemberatan dan kekerasan (curat, curas), maka begal pikiran justru melakukan dengan cara yang  canggih, halus, dan tanpa kekerasan.

Ya, diam-diam kita terus diancam para pembegal pikiran, bukan hanya saat di jalan sepi, tetapi saban hari, bahkan setiap saat. Betapa sering pikiran kita dihadang  dan dipedayai olehnya. Begal pikiran lebih sulit dimonitor CCTV  lantaran dia punya seribu wajah dan sejuta kelit.

Pembegal pikiran yang dasyat saat ini adalah iklan. Cecaran iklan setiap saat telah mengganggu akal sehat kita, bahkan mencucinya habis-habisan.  Iklan sangat  lihai mengubah keinginan menjadi kebutuhan. Dan orang tahu-tahu terpedaya, menjadi overkonsumtif  tanpa merasa. 

Mereka jadi keranjingan barang branded. Juga bernafsu membeli gadget terbaru, meski sudah sekeranjang gadget dimiliki. Perempuan desa dibikin resah dengan warna ketiaknya dan pecah-pecah di tumitnya. Oleh karena itu dia jadi “butuh”  deodoran spesial dan wajib  mengoleskan krim khusus di tungkaknya.  Tukang becak dan kuli batu rela tidak sarapan pagi demi untuk beli pulsa.

Gaya hidup pragmatis-materialistik yang mengesampingkan nilai-nilai etika juga turut menyerimpung akal sehat. Ajaran pragmatisme diungkapkan dengan pas oleh jin dalam iklan sebuah rokok “yang penting heppy” atau jingle iklan susu “ yang penting enak.”  Sedang materialistik mencegat pikiran kita, lalu  menancapkan standar kesuksesan baru di otak kita dengan tagline: “Anda adalah apa yang Anda  miliki.” Ekonomi kapitalistik juga membegal kesadaran manusia hingga mengubah kita menjadi binatang ekonomi yang gila kerja, rakus,  individualistis, dan minim kepedulian sosial.

Tapi ngomong-ngomong soal begal. Sebenarnya masih ada satu lagi jenis begal yang paling ditakuti, terutama oleh para manula. Begal itu tidak lain adalah begal linu..hehehe.  Apalagi kalau begal linu sudah berkomplikasi dengan  encok dan rematik. Aduh mak.

Tapi anehnya, dari dulu anak TK suka membawa begal di dalam tas punggung masing-masing. Itu bekal makan siang!  Lho, sekarang juga lagi tren anak ABG memasang begal untuk meratakan gigi tongosnya. Walah…itu kawat behel…(adriono)

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya,  jurnalis, dan penulis buku. 
Sumber foto: harjuna.we,id


Previous
Next Post »