Ada banyak cara silaturahmi di hari raya Idul Fitri. Tapi kami –eks wartawan Surabaya Post-- punya cara tersendiri, yaitu dengan menerbitkan antologi puisi. Thanks Mas Imung atas ide keren sekaligus kesediaannya menjadi penyunting buku ini. Suwun Mas Yusuf Susilo Hartono yang menggarap covernya. Di sela-sela kumandang takbir, saya pun membolak-balik lembar demi lembar. Maka terasa sedang bercakap dan bersambung hati dengan 39 orang sahabat rekan kerja yang menyumbangan karya tulis dalam buku ini.
Namanya juga antologi, bunga rampai. Maka isinya pun bagai taman bunga aneka warna, dengan berbagai jenis dan bentuknya. Nano-nano pokoknya. Ada puisi, pantun, geguritan, parikan, jula-juli, hingga genre puisi klasik Jepang haiku dan senryu. Muatannya juga macem-macem, mulai yang relijies, hikmah hidup, kontrol sosial, menggugat penguasa, romantika zaman liputan, kenangan cinta, hingga yang kocak bikin ngakak.
Puisi memang curahan hati, sebentuk ekspresi jiwa. Ungkapan dari aneka pengalaman batin hingga buah dari perenungan terhadap gejolak keadaan zaman. Puisi yang hadir juga didasari dari endapan pengalaman masing-masing penulisnya, yang notabene adalah “pangsiunan” wartawan. Mungkin karena itu buku antologi tersebut diberi judul Setelah Tanpa Deadline.
Dari sekian banyak tema yang mengemuka, saya tertarik untuk membuat catatan tentang konten puisi sejumlah teman, yang tampaknya hingga kini masih menekuni “dunia tergesa, dunia tanpa koma” ini. Perubahan pesat teknologi informasi, membuat segalanya berubah, termasuk cara kerja awak media hingga ekosistem dunia media yang kini diramaikan dengan media siber dan maraknya media sosial.
Tak urung semua itu muncul dalam puisi mereka dengan respons yang beragam. Ada yang prihatin dengan losdol-nya aturan dalam mempublish sebuah berita, padahal dulu ketat dikawal oleh kode etik jurnalistik dan naluri. Akurasi, objektivitas, berimbang (cover both side), bias opini, terang-terangan diabaikan. Gampang tergelincir menjadi buzzer, hater, ataupun lover. Bergembira dapat membully lawan habis-habisan sekaligus membela mati-matian kawan sepemahaman.
Cak Siswowidodo pun
mempertanyakan “Manah Ruhmu?” (wahai jurnalis). Wartawan biro Madiun ini menyaksikan betapa
gampang(an)nya kerja wartawan online sekarang. Tinggal nunggu press
release atau memunguti celotehan yang bejibun di medsos. Lantas
salin-tempel-unggah, copy-paste-upload.
tak peduli kaidah
masa bodoh rambu
disiplin
verifikasi tak mengerti
apalagi pagar api
judulmu: clickbait
menjebak viewers
sampah kau tebar
berserak di
mana-mana
menyeruak aroma
tak sedap
namanya juga
sampah
ah, yah sudahlah….
(Mana
ruhmu?, hlm 218)
Kini maraknya penggunaan artificial intelligences (AI) juga turut meramaikan jagad berita. Sampai-sampai Cak Rokimdakas mengkritik pedas lewat puisi “Wartawan Malaikat Apa Iblis?” dengan cukup panjang. Di antaranya, ditulis:
…………………………….
Kecerdasan buatan
hadir
Menjawab kebutuhan
zaman
Kepintaran
wartawan tergilas
Mesin mengolah
berita tanpa rasa
Wartawan hilang
roh hilang segala
(hlm. 180).
Di tengah pusaran zaman yang liar, dari era cetak menjadi era digital seperti itu, Cak Sukemi memilih mempertahankan harapan:
……………………………………………….
Aku bukan kenangan
yang ditinggalkan waktu,
bukan nyala lilin
yang ditiup angin perubahan,
aku adalah aksara
yang menolak redup,
bersayap
algoritma, menari dalam arus digital
Kini kutulis
berita tanpa percetakan,
kisah dunia yang
tetap harus terungkap,
sebab kebenaran
tak pernah berakhir,
hanya berganti
cara untuk disuarakan.
(Kebenaran Tak
Pernah Berakhir, hlm 235)
Mbak Heti Palestina
Yunani mengajak kita melakukan otokritik terhadap cara kerja jurnalistik. Jangan-jangan
kita yang menghancurkan rumah diri sendiri. Bekerja cepat tak akurat, sekadar
comot kata sana-sini. Tidak lagi gigih berburu di lapangan, tak pernah bertanya
penuh selidik. Sibuk menyalin dan menempel. Yang penting ada meski tak lengkap.
Agar eksis dia mengajak awak media untuk
bertahan berlaga ala seniman, bertaruh total laiknya “penjudi”, dan menerima
risiko jika tahu-tahu nganggur tanpa pesangon.
…..
Selama tubuh sehat
otak waras, ngototlah berkarya
Tak masalah,
selama tetap dikatakan sebagai manusia
(Setelah Berjuang, hlm 244).
Akhirnya Jil Kalaran tetap “mengompori” teman-temannya untuk terus menulis, sebab menulis itu dapat melawan kesombongan diri serta mendidikmu menangkap tanda-tanda kehidupan. Dengan menulis kita bisa bermimpi menjadi manusia.
…………
Menulislah terus
kawan
Karena menulis
adalah pedang kenabian
Kamu bisa membunuh
sekaligus membangkitkan
Kebenaran dan
keadilan
……………………………. (Menulis,
hlm 140)
SELAMAT HARI RAYA
IDUL FITRI
Selamat atas
terbitnya antologi puisi yang luar biasa ini. Thank, kawans.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon