Semua pribadi bebas menentukan ekspresi dalam menanggapi
pandemi. Pedagang ramai-ramai beralih jualan secara online. Guru beralih mengembangkan model pembelajaran daring. Lalu
bagaimana dengan seorang pengarang? Ternyata pandemi justru membangkitkan ilham
dan kemudian jadilah sebuah novel, seperti yang sedang Anda baca saat ini. Ide kejadian kecil sehari-hari saja dapat
dijadikan bahan tulisan, apalagi peristiwa mahadahsyat yang melanda seluruh
muka bumi ini?
Adalah Wiwin S.A, seorang pengarang sekaligus
pendidik dari telatah Kediri. Pengalaman menjalani hidup di bawah kungkungan
atmosfir Corona tidak membuatnya sumpek lantaran
tidak dapat mengajar dengan normal seperti biasanya. Naluri kepengarangannya
meronta, gagasan berkumpar-kumpar di benak, lalu keluar berjejalan menjadi
rangkaian cerita yang apik.
Inilah novel menarik dengan pandemi sebagai
latar belakang cerita sekaligus sebagai bahan penyulut konflik, kembangan
cerita, dan pemberi suasana yang kaya warna. Diangkat dua tokoh perempuan, Bu
Guru Key dan Bu Guru Wuhan (putri dari Wulan dan Hanafi), dengan segenap
problematik kejiwaan masing-masing. Pengarang dengan lancar menghadirkan ulang
alik dan silang sengkarut persoalan internal tokoh sebagai jagad cilik, dengan
persoalan eksternal tentang pandemi yang merupakan jagad gede.
Gempuran Corona memaksa semua orang mengendap
di rumah, bekerja dan belajar dari rumah. Kenyataan ini menimbulkan kegalauan,
juga kesepian. Larangan berkerumun, menjaga jarak, membuat kebutuhan untuk
bersosialisasi jadi terhalangi. Sungguh ini membuat perasaan jadi tidak nyaman,
setengah galau, juga kesepian.
Lalu dalam sepi merambatlah rasa rindu.
Tokoh-tokoh utama dalam novel Lafadz
Candu Perindu ini agaknya tercekat dalam kerinduan yang dalam. Wulan kangen
berat kepada kekasihnya, Fu Hsi, yang menghilang bagai ditelan bumi. Bu Guru
Key (saudara sepupu Wuhan) juga terombang-ambing ombak rindu, kepada mantan
dosen idola yang ternyata menciptakan perpisahan. Ini rindu yang kelewat biru.
Hingga membuat keduanya menampilkan sosok sulit diduga. Di balik keceriaan
tatkala mengajar siswa-siswa berseragam merah putih, Bu Guru Key sebenarnya menyembunyikan sedih
rapat-rapat. Demikian juga dengan Wulan.
Benarkah orang yang
selalu berusaha membuat orang di sekelilingnya bahagia biasanya adalah orang
yang paling sering merasakan kesedihan? Terkadang apa yang tampak tak selamanya
sepadan dengan yang tak tampak. Bu Guru Key, orang yang selalu menebar senyum ternyata
membungkam rapat tangisnya, agar tak ada yang mampu mendengarnya, kecuali
Tuhannya (halaman 42).
Tapi rindu, di tangan pengarang Wiwin, tidak
berhenti hanya sebatas keinginan untuk bertemu
antara dua sejoli yang telah tertaut hatinya. Rindu di era pandemi juga
berarti rasa kangen para siswa yang meletup-letup karena ingin segera mengikuti
pembelajaran tatap muka. Mereka sudah bosan, belajar daring selama dua tahun. Rindu
adalah hasrat guru untuk segera dapat membimbing anak didiknya dengan tatapan
dan sentuhan hangat.
***
Di saat kehidupan dilanda banjir bandang informasi
melalui media sosial yang terbaca dari gadget kita, kehadiran karya sastra
sungguh tetap berguna. Dia dapat dijadikan penyeimbang. Sebab sastra berbeda
dengan berita, apalagi berita hoaks. Jika berita mengabarkan kejadian dan fenomena,
maka sastra menghadirkan makna yang ada di dalam sebuah peristiwa.
Jika info yang beredar di dunia maya suka
meledak-ledak dan kerap menyulut kebencian, maka karya sastra justru mencoba
meneduhkan keadaan, memunculkan nilai-nilai, dan mengajak merenungkan keadaan
sehingga menemukan butir-butir pelajaran.
Terbitnya Lafadz
Pecandu Rindu sangat relevan dalam konteks seperti itu. Dia hadir membasuh
hati. Masalah pandemi tidak dimunculkannya sebagai deretan angka-angka korban
terpapar Covid, tetapi sebagai situasi yang harus disikapi dengan bijak, kreatif,
dan dengan segenap daya hidup. Suasana keseharian dipotret Wiwin dengan cermat sehingga
pembaca merasa memiliki hubungan yang akrab dengan peristiwa dan alur cerita
yang dibangun.
Lihat saja bagaimana hiruk pikuknya para emak
yang harus membantu anak-anaknya mengikuti pelajaran jarak jauh melalui
aplikasi Zoom atau Google Meet. Mereka turut rempong membantu anaknya mengerjakan
tugas-tugas sekolah. Ada lagi walimurid yang protes gara-gara anaknya tinggal
kelas, hingga kegiatan belajar home visit
(guru mengunjungi siswa belajar di rumah dalam kelompok-kelompok kecil) turut
mewarnai suasana di sepanjang jalannya kisah.
Semua keruwetan proses belajar di masa pandemi berkelidan dengan kisah
kegalauan pribadi Bu Wulan dan Bu Guru Key menjadi plot yang bikin kepo.
Sang pengarang mengolah dimensi cinta dengan
cukup dalam dan kompleks. Cinta yang kadang sulit dibedakan dengan kewajiban,
sebagaimana yang dilakoni sepanjang hidup oleh Mbah Sajem. Apa yang hendak dikatakan tentang cinta,
sebuah pencapaian atau sebuah proses perjalanan panjang yang tak mengenal
ujung? “Cinta memiliki ruang istimewa,
pada beningnya hati penggerak wirid, pembuka pintu langit untuk sebuah
ketulusan cinta yang kekal. Tak selamanya ketulusan cinta berakhir dengan
penyatuan dua hati. Adakalanya ketulusan cinta justru hadir tanpa bisa
memiliki, hanya mampu memeluk dalam setiap doa,” (halaman 21).
Tetapi seolah tidak ingin berhenti pada kisah
cinta biasa, pengarang juga menyelipkan legenda lama tentang petilasan Sri Aji Jayabaya, Dewi Kilisuci, serta kearifan lokal
yang layak untuk dipahami. Walhasil kehadiran karya sastra di tengah banjir bah
informasi yang dangkal dan profan, menjadi sangat penting.
Gaya penulisan yang terjalin dalam rangkaian
kalimat sastrawi yang indah, setidaknya menjadi semacam telaga persinggahan
yang bikin nyaman. Wiwin SA cukup piawai dalam menuliskannya. Lalu, apa peran
penting benda-benda spesifik yang dimunculkan dalam novel ini: seperti gelang
perak berinisial Fu Hsi, sajadah ungu, dan tusuk konde berukir bunga mawar? Monggo, silakan dicari sendiri. (*)
Oleh Adriono, seorang penulis lepas dan penggemar
sastra, pemerhati masalah sosial. Tinggal di Sidoarjo.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon