“Tidak terasa” kita hampir sampai di ujung bulan Ramadan.
Mungkin kata “tidak terasa” itu kurang
tepat. Agaknya ada aspek kesembronoan atau terbiasa lalai terhadap sang waktu, sehingga
kita merasa tahu-tahu semua serba cepat berlalu.
Boleh jadi sebenarnya “sudah terasa”, tetapi
lantaran kesibukan duniawi, yang celakanya semakin bertumpuk di bulan suci ini.
Mengapa waktu selalu berjalan kelewat cepat, sementara kita merasa belum banyak
menjalankan ibadah dengan maksimal, apalagi khusuk.
Betapa sibuknya kami ini. Repot melayani
membanjirnya order online, kewalahan menyiapkan paket makanan untuk takjil
maupun bukber, alat penyemprot air jasa cuci mobil motor kami terus ngejoss tak
henti-henti. Ini rezeki musiman, berkah Ramadan yang mesti dijemput dengan
penuh suka cita. Apa itu salah?
Betapa sibuknya kami ini. Harus belanja keperluan
lebaran, berburu diskon mumpung belum kehabisan. Karena masih banyak kegiatan yang
diurus, karena masih asyik chatting dan mengunggah status, jadi mohon maklum
bila kadang tidak sempat shalat tarawih dan tadarus. Kalau malam-malam masih menuntaskan
rapat, kapan sempat ihtikaf?
Hari-hari Ramadan berputar bagai kitiran. Aktivitas
berlangsung siang malam, nyaris tanpa jedah. Ternyata kesibukan sehari-hari justru
meningkat melebihi bulan-bulan sebelumnya. Konsekuensinya segera terasa, betapa
sulit menyisihkan waktu untuk melakukan ibadah.
Meski hati segera menghibur diri, bukankah kerja keras juga
merupakan ibadah, toh diam-diam kita juga mempertanyakan apakah peras keringat seperti
itu masih dalam taraf kewajaran atau sudah menuruti hasrat yang tamak.
Padahal salah satu aspek dari ibadah puasa adalah
mengajarkan jedah. Mulut yang biasanya “tidak berhenti makan” diistirahatkan
oleh puasa dari Subuh hingga Magrib.
Bahkan seyogyanya tidak sekadar berhenti menelan makanan minuman, tetapi
juga stop melontarkan ucapan yang sia-sia dan nista. Bukankah makna kata
“shaum” amat dekat dengan istilah “mingkem” alias puasa bicara?
Tapi kondisi eksternal memang sedang tidak
mendukung (atau ini justru ujian dari Tuhan). Agak susah mulut untuk tidak tergoda
ikut komentar. Telunjuk tangan terasa gatal jika tidak ikut “like” atau “share” manakala ketemu status yang pro dengan sikap kita. Atau sebaliknya
spontan mendamprat bila kontra dengan “kebenaran” yang kita yakini.
Riuh rendah cuapan di medsos, hiruk-pikuk politik
pilpres, telah membuat puasa kita kali ini kehilangan satu hal: suasana hening.
Betapa susahnya untuk mengesampingkan
itu semua. Ajaran lama “ana batang nyimpang,
ana catur mungkur” (ada terkaan menyimpang, ada gunjingan menyingkir) menjadi
sulit dilakoni.
Malahan kita cenderung menggenggam standar ganda. Membenci
berita sesat dan caci-maki, tetapi diam-diam aktif mengikuti semua perbincangan
yang berseliweran di layar gawai. Ini mirip seperti saat ada tetangga sedang
bertengkar. Meski kita berupaya pergi memunggungi, tapi masih mencuri-curi
dengar mengenai apa sebenarnya yang sedang mereka ributkan.
“Tidak terasa” kita hampir di garis finish Ramadan.
Sambil mengerjakan sisa-sisa hari puasa semampunya, toh kita tetap berdoa
semoga Gusti Allah masih berkenan menghadiahkan Ramadan lagi di tahun depan. Meskipun
untuk itu kita hanya berbekal komitmen enteng-entengan, bahwa kita berjanji besok
bakal mengisi bulan suci dengan lebih baik lagi. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon