Sedemikian cepatkah? Padahal setahu saya beliau tidak
gerah. Bahkan, kabarnya, paginya beliau masih goes bersepeda dan mengingatkan
rekan-rekannya agar hidup sehat serta gemar berolahraga.
Awal Syawal kemarin masih menulis komen terhadap status
saya di FB tentang “Idul Fitri Dirambati Sepi”. Waktu itu saya menulis tentang kegiatan
mudik saya ke desa lantas saya kaitkan dengan ketidaksiapan diri ini menghadapi
“mudik” sejati, yaitu mudik ke hadirat Ilahi.
Beliau kemudian komentar: “Mudik tenan sampeyan
mas. Dudu mudik-mudikan. Mohon maaf lahir batin.” Kini saya terhenyak dan disadarkan
oleh kenyataan bahwa panjenengan tiba-tiba telah berpulang, lebih dahulu menjalani
mudik sejati.
Pak Budi (maaf saya tidak terbiasa memanggil beliau
dengan Prof Budi. Bagi saya, panggilan “Pak” terasa lebih takzim dan mempribadi)
adalah guru saya. Juga juragan saya. Dari beliau saya belajar banyak mengenai
ilmu akademik sekaligus ilmu lapangan. Berguru melalui interaksi informal,
obrolan ringan, dan kegiatan bekerja, karena saya bukan mahasiswanya.
Saya hanya seorang anak buah freelance yang sering dimintai
tolong menjadi surveyor menggali data untuk keperluan studi penelitian. Berkat
Pak Budi saya berkesempatan membolang ke mana-mana. Terakhir, saya dan Nur
Faqih bersama tim Unair, dikirim masuk ke tengah pulau Kalimantan, tepatnya ke Kabupaten
Mahakam Ulum, untuk penulisan buku mengenai sosialisasi Undang-undang Desa di
sana.
Ada satu ilmu lapangan yang tak terlupa. Ini
mengenai cara menghadapi pemberi pekerjaan yang rewel. Dulu saya pernah sangat
jengkel dengan seorang pejabat yang banyak maunya dan sulit dipahami instruksinya.
Saya kewalahan meladeni karena harus melakukan merevisi laporan berkali-kali.
Saya uring-uringan dan mutung, tidak bakalan mau bekerja sama lagi dengan
pejabat resek itu.
Tetapi Pak Budi tetap tenang dan dingin hati. “Sabar
Mas,” ujar beliau menenangkan saya,” Sampeyan titeni ya, kalau ada orang sangat
rewel di awal pekerjaan itu biasanya nanti akan menjadi pelanggan kita.”
Ternyata benar, pada tahun-tahun berikutnya kami
mendapat order pekerjaan lagi dari orang itu. Ini ilmu lapangan yang mahal. Sekarang,
kalau ketemu dengan klien yang rewel, spontan saya terngiang kembali pesan Prof
Budi, lalu ambil nafas dalam-dalam dan mengembus sambil membatin, “ini calon
pelanggan saya yang baru.”
Pilihan sikap seperti ini ternyata berdampak amat positif.
Emosi jadi terkendali, kita dapat melayani orang dengan lebih baik, dan kebanyakan
klien itu kemudian benar-benar menjadi mitra kerja yang menguntungkan.
Selamat jalan Pak Budi. Mugi diparingi husnul
khotimah dan diterima segala amal ibadahnya. Kami hanya bisa mengantar dan
memberi penghormatan terakhir hingga di pemakaman Ketintang Barat. Langit berangsur
senja, matahari berjalan lambat turut berduka. Mripat saya ikutan membasah, saat
menyaksikan lima buah hati dan isteri panjenengan dengan wajah yang amat sembab
berdiri di depan pusara. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon