Ada
benarnya nasihat orang-orang suci.
Memberi
itu terangkan hati.
Seperti
matahari
yang
menyinari bumi.
-
(Iwan
Fals, Seperti matahari).
Memberi itu lebih membahagiakan daripada menerima.
Tidak banyak orang yang mau tahu dengan kebenaran ungkapan ini, kecuali kaum dermawan
yang telah mempraktikkannya. Kebenaran itu sekilas memang tidak logis. Sebab,
jika menerima adalah mendapatkan maka memberi justru kehilangan. Jadi, mana mungkin kehilangan sesuatu lebih
membahagiakan ketimbang mendapatkan sesuatu? Apalagi kita hidup di sebuah zaman
di mana kepemilikan adalah satu-satunya simbol kesuksesan. Budaya modern kita adalah
budaya penumpukan bukan pengedaran.
Semua orang, dari bocah sampai lansia, pada dasarnya suka menerima. Anak-anak
melonjak girang manakala mendapat kado ultah, pelayan restoran tersenyum bila memperoleh
tips, dan pejabat korup bersiul-siul begitu mendapat fee dan gratifikasi gede. Peserta jalan sehat pun rela menunggu berjam-jam
sembari berdoa semoga nomor kuponnya disebut MC dalam pembagian doorprise kompor gas dan kulkas.
Dari kegemaran “menerima” menuju kebiasaan “memberi”
adalah proses psikologis yang panjang. Sebuah proses kematangan jiwa dari egoistik
menuju altruistik. Atau, meminjam istilah psikoanalisis Sigmund Freud, sebuah proses
perjalanan dari id menuju ke superego.
Anak-anak balita suka merebut semua mainan dan
makanan ke dalam rengkuhannya sendiri. Pokoknya, semua di dunia ini milikku!
Sedikipun tidak ada ruang untuk berbagi dengan sesama balita lain. Namun seiring
berjalannya waktu sang bocah secara bertahap mulai punya kesadaran untuk berbagi.
Sabtu kemarin saya lihat tiga siswa SD mengulurkan
rupiah ke tangan seorang pengemis yang bersandar di tembok pagar sekolahnya. Kiranya
mereka telah mampu mengatasi keserakahan dan mulai tumbuh empati dan jiwa
sosialnya. Pada orang dewasa kemampuan berbagi semestinya terus meningkat.
Lihat itu ibu-ibu, bila pulang arisan PKK. Mereka
memilih tidak memakan kue tapi memberikan kepada anak atau cucu di rumah.
Ketika makanan itu habis, hatinya justru berbunga-bunga. Bagaimana menjelaskan
fakta, tidak kebagian makanan justru gembira? Ya, sebab sang ibu telah membuang
semua kepentingan diri demi sang buah hati. Kasih
ibu itu diabadikan SM. Mochtar dalam lirik lagu anak-anak TK: “Hanya memberi tak harap kembali. Bagai sang
surya menyinari dunia.”
Semangat memberi dalam radius yang lebih luas ditunjukkan
oleh sosok ayah yang bekerja keras lalu menyerahan seluruh penghasilannya untuk
menghidupi keluarga dan menyekolahkan putra-putrinya. Dia sudah tidak tertarik lagi makan di
restoran favorit bila itu dilakukan sendirian, sebaliknya dia akan berselera tatkala
anak-anak dan istrinya terlihat berebut ikan dan lahap makan bersama di tempat
itu.
Pada wilayah lebih luas lagi, ketua partai politik
akan senang bila dapat berbagi dengan oran-orang lain yang masih menjadi
golongannya. Ketua kelompok agama akan mudah membantu jamaah yang sealiran
dengannya. Tetapi bagi seseorang pemimpin telah mencapai derajad kenegarawan maka
dia baru akan tersenyum bahagia manakala rakyat kecil sudah naik taraf
hidupnya. Sementara kaum filantropi, kaum kaya yang telah selesai dengan urusan
dirinya, telah menemukan kecintaan baru dengan menyumbangkan waktu, uang, dan
tenaganya untuk menolong orang lain.
Maka jika ada orang tua masih saja gemar menerima,
masih serakah merebut semuanya dengan segala cara, maka sejatinya secara kejiwaan
dia belum banyak beranjak dari tahap egoisme kanak-kanak. Bila semakin kaya
semakin tidak bersedia memberi, sesungguhnya dia tak lebih dari sosok kaya yang
miskin hati.
Kanjeng Nabi sudah dawuh, “tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di
bawah.” Pesan ini mengandung maksud bahwa para pemberi itu lebih baik daripada
pihak yang menerima pemberian. Namun demikian, demi memuliakan sang penerima, ada baiknya pada
saat memberi usahakan tangan kita tidak berada pada posisi di atas. Bila kita
menghadiahkan sebuah handphone, taruhlah
benda itu di telapak tangan Anda, lalu sodorkan dan persilakan si penerima
memungut benda itu dari arah atas. Dengan begitu pemberi dan penerima menjadi
sama-sama mulia.
Dalam sejarah umat manusia, kisah pemberian paling
ekstrem seorang hamba kepada Khaliknya dilakoni oleh Nabi Ibrahim AS. Dia rela
menyerahkan harta paling berharga demi memenuhi perintah Tuhan yang sangat tidak
masuk akal itu. Bagaimana mungkin Sang Maha Penyayang memerintahkan seorang
ayah menyembelih putra semata wayangnya?
Tetapi bagaimanapun iman dan ketaatan haruslah tetap berada di atas logika
dan hawa nafsu.
Begitu Ismail tergantikan oleh domba, tidak bisa
dilukiskan betapa bahagia hati bapak para nabi itu. Sayangnya, para ustad tidak
banyak tertarik membahas kebahagiaan Ibrahim AS sesaat setelah sukses menjalani
ujian iman dan ujian cinta mahaberat itu.
Hari-hari ini orang-orang bergembira menerima
pembagian daging kurban. Apalagi bila sampai mendapat jatah dobel-dobel dari
takmir sana dan dari panitia sini. Pedagang hewan (baik yang profesional maupun
dadakan) juga melenggang pulang dengan mengantongi segebok keuntungan. Tetapi
betapapun binar terpancar di wajah mereka, percayalah tetap akan lebih berbinar
hati orang yang menyerahkan binatang kurban.
Takkala melihat orang menuntun binatang ternak
menuju ke tempat amil, maka yang muncul di benak kita semestinya bukanlah
betapa lezatnya sate gule kambing atau dendeng ragi. Tetapi munculkanlah kecemburuan
betapa mekarnya hati mereka yang telah memampukan diri untuk berkurban. (adrionomatabaru.blospot.com). Sumber ilustrasi:
incimage.com.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon