Dalam suasana Agustusan, kata
merdeka menjadi kata kunci yang dipakai banyak orang, termasuk oleh para
pedagang. Di sepanjang jalan Surabaya - Sidoarjo, umpamanya, banyak terpampang
billboard besar bertuliskan: Merdeka dari
Angsuran Mahal…!
Bila beli motor matic di bulan kemerdekaan ini, Sampeyan dapat keringanan cicilan Rp. 37.000,-
dibanding kalau beli di bulan yang lain. Selisih segitu saja sudah dibilang merdeka? (Omaigot, aku berlindung dari godaan iklan, siang maupun malam).
Agaknya sekarang kata merdeka telah mengalami perluasan makna,
bahkan mungkin pendangkalan arti, bergantung kepada konteks dan teks yang
mengitarinya. Biro jasa travel dan fried
chicken menjual paket merdeka, ojek online
memberi diskon kemerdekaan 71%, dan pedagang pulsa getol jualan paket internet
merdeka.
Bila suatu daerah dimasuki
program listrik masuk desa, lalu pejabat menekan sakelar tanda peresmian nyala
lampu listrik pertama, maka warga spontan tepuk tangan dan meneriakkan kata, “ Merdekaa..!!”
Bagi mereka kemerdekaan adalah bebas dari kegelapan yang menyelubungi desanya setiap
malam. Sementara bagi ibu-ibu kampung, pekik merdeka sudah layak dilontarkan
begitu cicilan panci telah lunas. Lega. Merdeka dari utang ! (Tapi bulan depan
amprah lagi..).
Jadi freedom bukanlah kata yang tunggal makna. Malah menurutku, karakter
kemerdekaan itu kok mirip dengan perempuan. Dia dicari semua laki-laki, tetapi
keberadaannya tidak sepenuhnya bisa
dimengerti. Seolah konkret
padahal sebagian darinya adalah misteri. Di tembok sebelah Royal Plaza Surabaya terdapat coretan mural yang menyangsikan
realitas saat ini dengan tulisan gede-gede: MERDEKA APANYA.
“Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..,” begitu
bunyi preambule UUD 1945, yang kita
telan kebenarannnya tanpa dikunyah. Tapi kemerdekaan itu sebenarnya hak ataukah
pilihan, sih? Sebab meski kemerdekaan
itu hak tetapi ada kemungkinan orang tidak memilih merdeka.
Mari diamati fakta keseharian
kita. Banyak orang menginginkan kemerdekaan. Kemerdekaan berserikat, kebebasan
berpendapat, hingga kebebasan menentukan
karier dan jalan hidupnya masing-masing.
Namun di sisi lain, tidak sedikit
pula orang yang memilih melakoni hidup tanpa kemerdekaan penuh, menjalani
karier yang tidak sesuai kehendak hati, hingga mengisi hari-hari dengan
pasangan yang tidak sehati --tentu dengan alasan masing-masing serta pertimbangan
yang subjektif sifatnya. Nah kan, menjadi merdeka tidaklah sederhana.
Memilih merdeka butuh nyali dan
komitmen. Para pahlawan nasional kita sudah membuktikan hal itu. Freedom
or die adalah opsi ekstrim untuk memerdekakan negeri ini. Kemudian 17
Agustus adalah buah dari perjuangan panjang mereka.
Banyak hal telah kita dapat dengan
kemerdekaan, menikmati negeri merdeka, dan mengisinya dengan bekerja dan
bekarya. Namun harus diakui dalam beberapa hal kita dibikin kecewa. Begitu
juga dengan gerakan reformasi yang sukses menumbangkan rezim represif, terbukti
tidak sepenuhnya membawa hasil yang sesuai dengan cita-cita awal dahulu.
Ya, cepat atau lambat, kita mulai
diajar oleh realitas bahwa kemerdekaan bukanlah taman surga yang melulu berisi kebahagiaan. Bahkan sejak
dahulu drama-drama dari mitologi Yunani telah memperingatkan, “kemerdekaan
punya pembalasannya sendiri, yaitu keresahan dan kecemasan….”
Orang-orang menginginkan kebebasan
tetapi pada saat yang sama enggan menerima kecemasan. Padahal keresahan dan
kecemasan adalah bagian intrinsik atau konsekuensi logis dari kemerdekaan.
Merdeka atau resah bukanlah dua pilihan sebab kehadiran yang pertama selalu
dibuntuti oleh yang kedua itu.
Hampir semua anak muda gandrung
dengan kebebasan tetapi tidak banyak yang mau menerima bahwa pilihan itu
membawa konsekuensi berat. Betapapun bebasnya individu dalam memilih keputusan
dia tidak akan pernah disertai dengan kepastian yang mantap.
“Kemerdekaan adalah sayap yang berluka,” ungkap
Driyarkara dengan bahasa kiasan. Artinya, dia bisa menerbangkan kita membumbung
tinggi ke angkasa. Tetapi, sebagaimana sayap yang luka, kemerdekaan tidak
selalu dapat mengepak dengan sempurna. Dalam perjalanan terbang ada kesukaran
yang segera menyertai. (Sengaja ditulis “berluka” bukan “terluka”, sebab
terluka mengandung arti dilukai oleh pihak luar, sedangkan luka pada sayap
kemerdekaan memang sudah ada sejak dari sononya).
Alam merdeka memang tampak indah
dan nyaman untuk dinikmati, siapa yang tidak suka? Tetapi, sebagai mana hidup
di alam terbuka, setiap saat ada marabahaya mengintai. Menghadapi kenyataan
yang demikian itulah maka wajar jika kemudian banyak pribadi yang memilih “balik
kucing” kembali masuk ke sangkar. Sebab, meskipun mengekang sebenarnya sebuah sangkar
merupakan tempat yang aman dari gangguan luar dan dari ketidakpastian cuaca (cuaca alam, cuaca ekonomi, maupun cuaca sosial politik). Asal
mau menjadi “burung penurut” kita akan mendapat jatah makan, perlakuan “baik”, dan
…. upah bulanan.
Jadi bagaimana sekarang?
Memilih merdeka tapi resah atau tertawan tetapi aman, terserah Sampeyan. Sebab, “ sesungguhnya kemerdekaan itu ialah pilihan segala jiwa, dan
oleh sebab itu…..,” lanjutkan sendiri hehe… (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sampai jumpa dengan tulisan lain, tiap Senin dan Kamis, di alamat
yang sama. InsyaAllah.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon