Bila kota berkembang pesat tanpa
kendali maka kelompok yang rentan dirugikan pastilah anak-anak. Manakala
pembangunan hanya memenuhi hasrat kemajuan materi dan manajemen tata kota hanya
berorientasi pada kalkulasi rugi-laba maka anak-anak kotalah yang bakal
menanggung akibatnya.
Mereka menjadi kehilangan hak-haknya.
Sejatinya anak tidak hanya butuh pangan dan sandang tetapi juga butuh ruang.
Tidak hanya butuh berprestasi tetapi juga butuh tempat rekreasi dan sarana ekspresi.
Ketika wajah kota berubah menjadi rimba beton yang tidak ramah, ke mana
anak-anak kita akan menghabiskan masa bermainnya?
Agaknya kini setiap jengkal tanah
telah dinilai dan dikavling untuk proyek kepentingan orang dewasa, sehingga hak
anak cenderung terpinggirkan. Jauh-jauh hari, Penyanyi Iwan Fals, dalam lagu Mereka Ada di Jalan, mengeluhkan realitas
ini:
Anak
kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepakbola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja....
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepakbola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja....
Bayang-bayang ancaman kejahatan
di keramaian jalan maupun di sudut-sudut kota besar juga membuat zona aman dan nyaman (comfort zone) bagi anak semakin menyempit.
Bahkan areal sekolah dan rumah kadang
juga tidak menjamin perlindungan bagi anak.
Apalagi kabar banyaknya anak-anak
yang menjadi korban kekerasan, penculikan, pelecehan, diskriminasi dan
perlakukan yang salah, terus-menerus menghiasi pemberitaan media masa,
televisi, dan media sosial. Padatnya
lalu lalang kendaraan, buruknya pedestrian, serta minimnya sarana penyeberangan
jalan turut memperburuk keadaan kota.
Kemajuan pembangunan dan perkembangan teknologi telah
menyodorkan pedang bermata dua di hadapan anak-anak. Di satu sisi memberi
kemudahan fasilitas dan kentungan bagi pengembangan prestasi anak, tetapi di
sisi lain kemajuan pembangunan dan teknologi juga membawa perubahan sikap dan
perilaku masyarakat yang tidak selalu memihak kepada kepentingan anak serta
tidak ramah anak.
Teknologi gawai (gadget) yang kini nyaris berada dalam setiap
genggaman anak serta kemudahan sambungan internet adalah contoh paling konkret
dari kehadiran pedang bermata dua itu. Anak sekarang menjadi cepat pandai dan
berwawasan luas karena terampil mengakses informasi di dunia maya. Tetapi
dampak ikutannya, dia juga cepat dewasa lantaran paparan konten pornografi.
Maraknya game rental dan game online membuat anak
jadi kecanduan dan malas bersekolah. Anak sekarang telah melek teknologi
tapi sekaligus menjadi pribadi individiualistis bahkan asosial bilamana tidak
mendapat bimbingan memadai.
Demikian juga peredaran narkoba yang menyasar kalangan remaja, bahkan telah beredar kabar
bahwa narkoba menyusup ke komunitas anak-anak melalui media permen hingga
jajanan anak di sekolah, sungguh membuat masalah perlindungan terhadap anak
menjadi urusan yang super urgen.
Kenyataan yang masih buram ini
tentu memrihatinkan kita semua. Apalagi jumlah populasi anak-anak di negeri ini
tergolong besar. Saat ini proporsi anak (dari usia kandungan sampai usai
sebelum 18 tahun) secara nasional mencapai sepertiga dari total penduduk
Indonesia.
Fakta ini tidak dapat diabaikan atau dianggap bukan problem
prioritas yang harus ditangani. Oleh karena itu sudah selayaknya anak-anak
diangkat kembali menjadi subjek yang memerlukan perhatian, perlakuan, dan
tindakan khusus sesuai harkat dan martabatnya sebagai anak.
Memang secara secara individu,
anak merupakan tanggung jawab dari orangtua. Namun anak juga perlu
dipertanggungjawabkan secara sosial. Artinya dalam kehidupan sosial, anak
merupakan tanggung jawab Negara, melalui Pemerintah, para pemimpin, dan pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang anak.
Ya, kota dan anak seharusnya bisa
bersahabat.
(adrionomatabaru.blogspot.com) Sampai
jumpa pada tulisan lain, setiap Senin dan Kamis, di alamat yang sama.
InsyaAllah.Sumber gambar: bpblogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon