Setiap orang punya cara dalam membuat
tulisan. Ada yang dimulai dari termenung ditemani kepulan asap rokok. Ada yang menunggu
malam hening agar datang mood, ada
pula dengan cara melahap tumpukan buku referensi dahulu. Apapun caranya sah-sah
saja, yang penting terlahir karya tulis yang baik.
Tetapi bagaimana dengan temans
yang masih kesulitan membuat tulisan? Melahirkan kalimat pertama saja sudah menguras
otak. Adakah metode praktis agar kita dapat menulis lancar? Seorang penulis
produktif Bapak Hernowo Hasim punya kiat menarik untuk dapat menulis secara mengalir
seperti air.
Sabtu lalu, penulis 24 buku laris
dalam tempo 4 tahun itu berbagi rahasia dalam Semiloka Menulis Flow di Gedung Pusat Bahasa Universitas Negeri Surabaya.
Pesertanya adalah anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI) Jawa Timur. Beruntung
saya berkesempatan nimbrung dalam
acara tersebut.
Dalam pelatihan itu Pak Hernowo
memberikan beberapa teknik menarik dan bisa diaplikaskan oleh siapapun yang berniat (tepatnya: bertekad) ingin
meningkatkan kemampuan menulisnya. Salah
satu cara yang ingin saya share kepada
Sampeyan pada status fb “Senin-Kamisan” kali ini adalah latihan menulis bebas.
Semua peserta semiloka, diminta menulis
sesuka hati, bebas menulis apa saja selama lima menit. Stopwatch pun disiapkan disiapkan. Begitu tombol start ditekan, argo waktu pun
berdetak. Ayo… semua, segera menulis di depan laptop masing-masing.
Terlihat beberapa peserta gelisah
menggaruk-garuk Kepala. Mungkin bingung mau menulis apa. Ya, manusia memang
serba repot. Manakala diberi tema tertentu dia bingung karena merasa tidak
menguasai tema itu. Giliran diminta menulis bebas, ternyata juga kebingungan.
Sementara itu beberapa peserta
lainnya terlihat mengetik dengan terbata-bata, sebagian lagi mengetik dengan
cepat sehingga terdengar suara seperti air hujan yang menimpa atap. Pak Her juga
serius memberi contoh menulis mengalir di depan laptop yang ditayangkan ke
layar monitor besar.
Stop, lima menit habis. Narasumber
bertanya kepada seorang peserta barisan depan. “Anda menulis berapa kata?” Setelah
melihat monitor laptop bagian kiri bawah, dia menjawab, “150 kata.” Sedang
peserta yang lain hasilnya bervariasi. Ada yang sudah mampu pemproduksi satu
layar lebih namun ada pula yang baru membikin satu paragraf.
“Saya tidak mempermasalahkan topik apa yang
Saudara tuliskan. Saya hanya ingin mengetahui seberapa banyak kata yang dapat Anda tuliskan selama lima
menit tadi,” kata penulis buku bestseller Mengikat
Makna itu.
Lalu apa manfaat berlatih menulis
bebas ini? Ternyata latihan ini untuk menyadarkan kita kembali bahwa aktivitas
menulis itu bukan melulu pekerjaan
otak. Menulis juga merupakan pekerjaan fisik, yaitu mengetik. Mengetik manual
dengan jari-jari.
Jadi, jika Anda belum lancar mengetik,
masih grathul-grathul memencet tombol
keyboard, bagaimana mungkin Anda dapat menulis mengalir? Ini kendala elementer
yang musti diatasi setiap penulis maupun calon penulis. Dan itu bisa diatasi
dengan latihan rutin.
Contohnya anak-anak ABG itu. Dua
jempolnya pasti cekatan memencet keypad
handphone ketika sedang SMS-an atau WA-an.
Jadi, bila jari tangan sudah terampil mengetik
maka dia akan dapat melayani aliran gagasan di otak yang kadang mengalir deras.
(Beruntung saya lulusan SMEA, sehingga sempat dibekali pelajaran mengetik
dengan 10 jari).
Latihan menulis bebas sebaiknya dilakukan
setiap hari demi meningkatkan ketrampilan mengetik. Bila hari ini kita hanya
mampu mengetik 25 words per minute (WPM)
lalu besoknya kita bisa memproduksi 35 WPM, berarti secara nyata kemampuan
menulis kita meningkat 10 WPM. Kiranya, skill mengetik adalah modal awal dari kesuksesan melahirkan karya tulis.
Menurut Pak Her, menulis bebas
juga berguna untuk mengurangi beban psikologis. Bila sedang marah
kepada seseorang, kita salurkan saja emosi itu lewat tulisan. Tentu saja
setelah itu hasilnya harus didelete. Jadi,
kita bisa memulai menulis “ngawur” apa saja, katik-ketik sambil nyanyi-nyanyi. Setelah terasa nyaman, mulai muncul
mood menulis, maka gagasan yang ada
di kepala bisa kita tuangkan dengan flow.
Pada saat proses menulis
berlangsung, sangat dianjurkan kita tidak tergoda untuk membaca alinea-alinea
yang barusan kita bikin. Ini “penyakit”
yang menghambat kegiatan menulis. Ibarat sungai alirannya jadi terganggu gara-gara
kita menengok dan mengoreksi kalimat sebelumnya.
“Pokoknya biarkan saja semua
mengalir. Lupakan dulu kesalahan ejaan dan tata bahasa,” katanya. Tentu saja
bukan berarti kita mengabaikan kaidah dan logika bahasa. Tetapi koreksi dapat
dilakukan nanti saja setelah semua gagasan habis tertuang. Bila perlu didiamkan
sehari, besoknya baru dikoreksi.
Sebab kegiatan menulis dan mengedit
memerlukan aktivitas otak yang berbeda. Ide yang merupakan bahan utama tulisan
itu berada di otak kanan. Demikian juga emosi kegairahan menulis juga berasal
dari otak kanan. Sedangkan kegiatan mengoreksi kalimat adalah wilayah kerja
bagian otak kiri yang kritis, logis, dan terstruktur.
Saya sendiri, selama ini tanpa
sadar telah menerapkan metode yang disarankan oleh Pak Hernowo itu, meskipun
tidak sama persis. Menulis metode flow
itu dalam istilah saya kerap saya sebut
sebagai metode menulis dengan gaya “tukang martabak”. Lihatlah tukang martabat.
Yang dilakukan pertama adalah membeber adonan hingga menjadi lebar.
Tidak terlalu penting bentuk
awalnya lonjong atau ada yang bolong. Pokoknya dibeber dulu, baru kemudian
disempurnakan. Saya kira menulis juga demikian. Kita beber saja semua gagasan
hingga lebar, setelah selesai, baru dibaca ulang dan disempurnakan.
Metode flow memang efektif untuk segera menghasilkan draf tulisan. Tetapi saya pribadi kadang masih tergoda untuk dapat menelorkan
kalimat awal yang bagus. Dan terus terang itu cukup menghambat memulai sebuah tulisan.
Saya tidak terbisa serta-merta menuliskan sembarangan kata pada alinea pembuka.
Soalnya saya sependapat dengan
bunyi iklan parfum, “kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya
terserah Anda….” Jadi, kalimat
pertama sebaiknya menggoda minat pembaca, agar selanjutnya pembaca mau mengikuti
karya tulis kita hingga titik yang terakhir. Dan itu bukan pekerjaan gampang.
Tetapi pagi ini saya belajar
berkompromi. Saat memulai tulisan ini tadi memakai cara flow terlebih dahulu. Tidak sampai 10 menit semua gagasan tumpah
sudah. Setelah itu saya baru memoles alinea-alinea
awalnya. Ya, ternyata lebih cepat selesai.
Selain menulis bebas, dalam semiloka
itu juga dilatih teknik mengikat makna dan latihan mengembangkan ide. Karena khawatir catatan ini jadi kepanjangan, jadi disudahi sampai di sini saja. Tapi bila Anda reques, akan saya bikinkan catatannya pada edisi mendatang. Tentu
yang lebih afdol adalah membaca sendiri bukunya Pak Hernowo mengenai hal itu. Baru beredar, judulnya “Flow” di Era Socmed, Efek-Dahsyat Mengikat Makna terbitan Kaifa (Mizan)
Bandung.
Salam literasi (adriono.com) Sampai jumpa dengan tulisan lain, tiap Senin dan Kamis, di alamat
yang sama. InsyaAllah. Keterangan foto:
Pak Hernowo (kiri) dengan saya. Poto
jejer ben ketularan pintere.
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsCoba
ReplyEmoticonEmoticon