Pada awalnya adalah coba-coba, iseng didesak rasa
penasaran belaka. Begitulah kebanyakan asal-muasal remaja bersentuhan dengan rokok.
Jadi umumnya bermula dari keinginan semata, bukan benar-benar dari kebutuhan.
Dan keinginan itu bersumber dari persepsi dan nilai-nilai yang berkembang di
lingkungannya.
Bila teman sebaya banyak yang merokok maka dia
berpeluang menjadi perokok berat. Sebab secara psikologis anak muda sangat
takut ditolak oleh komunitasnya. Maka mereka menjadi konformis dengan
nilai-nilai kelompok. Kalau teman gangnya berambut gondrong atau memakai
anting, sudah pasti dia pun berpenampilan serupa. Bukan berarti benar-benar
suka pada dandanan itu, tapi yang lebih penting adalah dia merasa tampil gaul
seperti teman-temannya.
Demikian juga dengan ihwal merokok, tidak semua pemula
itu tidak benar-benar memerlukan rokok, bahkan pada isapan pertama mereka akan
merasakan pahit disertai tersedak dan terbatuk. Tetapi dia akan terus mengisap
sebab tidak mau mendengar olok-olok temannya yang memanaskan kuping. Dibilang
banci , kuper, katrok, cemen, anak mama dan banyak lagi yang lainnya.
Boleh jadi kegiatan itu juga didorong oleh jiwa
pubertas, merasa diri sudah dewasa sehingga sah merokok, sebab rokok telah dipersepsi
sebagai penanda kedewasaan. Masa remaja yang merasa menabrak larangan, norma,
dan kekangan orang tua, sebagai sebuah petualangan dan pemberontakan yang mengasyikkan.
Maka pemula itu kemudian menjadi pelaku aktif, bahkan bukan mustahil meningkat
menjadi “ahli khisap” sebab dalam rokok memang
mengandung zat-zat adiktif yang membikin ketagihan.
Kini rokok bukan lagi sekadar tembakau yang dibakar
lantas diisap, tetapi dia telah menjadi bahasa pergaulan dan life style. Serasa tidak lengkap bila nongkrong tanpa
kepulan asap sigaret. Seniman pun akrab dengan asap demi menemukan mood dalam berkarya. Ayah mertuaku sendiri
mengaku, badannya menjadi lemas dan tidak kuat bekerja berat bila terlambat ngudut.
Sigaret juga telah menjelma menjadi bisnis raksasa yang
melibatkan ratusan ribuan pekerja dan petani tembakau. Industri ini sanggup memasok
triliunan rupiah kepada negara melalui cukai. Karena itu begitu terusik dengan
isu pelarangan maupun wacana kenaikan harga berlipat maka segera muncul pro
kontra keras karena masing-masing pihak punya kepentingan yang berbeda.
Kemenkes dari awal jelas berangkat dari sudut
pandang kesehatan masyarakat. Oleh karena itu goal yang diinginkan pastilah Indonesia bebas rokok agar kesehatan bangsa meningkat.
Para pebisnis beda lagi, begitu mendapat tekanan mereka akan membuat reaksi
balik agar omzet dan margin tidak terganggu.
Kini, rokok telah mengambil peran dominan dalam
pembentukan citra diri, menjadi bagian dari instrumen politik tubuh. Oleh karena itu merek atau brand rokok menjadi sangat urgen. Ungkapan
lama “saya berfikir maka saya ada” digeser menjadi “saya merokok maka saya
eksis.” Apalagi jika yang diisap adalah merek
terkenal dan eksklusif.
Pebisnis rokok amat paham dengan sisi kejiwaan
semacam ini. Oleh karena itu mereka lihai mencipta iklan dan even yang amat mengena
dan membuai emosi. Berbagai disiplin ilmu dimanfaatkan, mungkin termasuk disiplin
ilmu baru, neuromarketing. Marketing yang
memainkan sarat dan kesadaran konsumen. Pemasaran yang menyadari bahwa emosi
lebih unggul dari logika. Segala peringatan tentang bahaya rokok yang amat
rasional, juga fatwa rokok haram, segera dapat dicounter dengan setumpuk argumen dan pembenaran.
Sebuah penelitian melalui scanning MRI membuktikan, otak responden pada bagian korteks
prefrontal ternyata bersinar ketika dia diminta memilih produk anggur yang
mahal dan bergengsi, di mana sinar itu tidak terjadi di saat disuruh memilih anggur
murah. Artinya sistem saraf manusia memang merespons terhadap stimulus yang
telah dimuati sejumlah citra yang dimanipulasi.
Dulu iklan rokok masih jadul dan naif.
Selalu disertai dengan kalimat perintah langsung: Hisaplah rokok A atau cerutu
B. Harum gurih nikmat. Kini tidak berlaku lagi kalimat instruksi, sebab pengiklan
menyadari sepenuhnya bahwa orang tidak
suka disuruh-suruh. Orang justru gampang luluh dengan rayuan ketimbang dengan
aturan. Bukankah setan berhasil mempedaya manusia karena bersenjata godaan, sama
sekali bukan paksaan?
Iklan rokok masa kini jauh lebih canggih. Larangan
menampilkan fisik rokok, justru membuat tim kreatif biro iklan menjadi kian
lihai. Maka yang dibangun adalah citra diri calon konsumen dengan menggunakan gambar
dan teks yang menggugah rasa. Eksistensi rokok disandingkan sedemikian rupa
dengan imaji kejantanan, petualangan, pertemanan, dan maskulinitas. Umpamanya tagline “pria punya selera”, “nggak ada loe ngga rame”, atau “my
live my adventure.”
Dari segi gambar juga ditampilkan sosok perlente, cowok
eksekutif bersanding wanita cantik di sebuah pesta atau meluncur dengan mobil
mewah. Pada merek tertentu, iklan rokok justru menggarap sisi idealisme anak
muda dengan memunculkan ungkapan motivasi yang kuat agar kita berani mengejar
impian meski impian itu tidak sesuai mainstream.
“Bagiku sukses itu mencari pengalaman buka cuma kemapanan. Bagiku sukses itu menggerakkan lautan manusia, bukan sekedar menggerakkan roda perusahaan. Bagiku sukses itu mewujudkan impian, bukan cuma cari jabatan. Jadikan panggilan jiwamu adalah cerita suksesmu. LA Light. Let’s do it.”
“Bagiku sukses itu mencari pengalaman buka cuma kemapanan. Bagiku sukses itu menggerakkan lautan manusia, bukan sekedar menggerakkan roda perusahaan. Bagiku sukses itu mewujudkan impian, bukan cuma cari jabatan. Jadikan panggilan jiwamu adalah cerita suksesmu. LA Light. Let’s do it.”
Betapa
persuasifnya ini ritorika.Rangkaian kalimatnya sama sekali tidak bernada
memerintah. Sebab yang ingin dikejar adalah pesan-pesan asosiatifnya, efek-efek
mentalnya. Pesan iklan diam-diam menelikung akal sehat dan memprovokasi emosi
sehingga kita dibikin percaya bahwa rokok memang membuat tampilan menjadi gagah,
jentel, mandiri, dan terlihat sukses. Maka abaikan saja ancaman ribuan zat berbahaya
yang bersemayam di dalam sebatang rokok.
Untuk menekan pertumbuhan perokok yang cenderung
masif, pemerintah menerbitkan aturan pada setiap bungkus rokok maupun tayangan
iklan rokok wajib membubuhkan peringatan “Merokok membunuhmu” dan tanda angka
18+.
Tentu saja peringatan seperti ini perlu. Mungkin banyak
orang terpegaruh dan menjadi tersadar (perlu ada penelitian untuk mengetahui kebenarannya).
Tetapi kesan saya, peringatan seperti itu seolah tumpul di hadapan massa. Saya
pribadi lebih setuju dengan teks peringatan sebelumnya yang lebih rinci:
merokok bisa menyebabkan penyakit kanker, jantung, impotensi, merusakan janin dan
seterusnya. Peringatan “merokok membunuhmu” secara tekstual memang lebih ekstrim,
tetapi justru kesan yang terkirim terasa kurang menohok karena bersifat global.
Dan gampang diceletuki: Gak ngrokok nanti
juga matek, Cak!
Sikap melawan segala macam rambu dan peringatan
memang termasuk perilaku yang tak logis. Bagaimana mungkin orang tidak mau menerima ajakan yang menguntungkan
kesehatannya? Dunia psikologi telah lama tergoda untuk meneliti mengapa segala peringatan
tentang bahaya merokok seolah tidak mempan? Dan hasil penelitian mereka belum
bisa memberi jawaban yang memuaskan atas perilaku paradoks itu.
Pemasangan gambar-gambar akibat merokok, seperti
kanker tenggorokan, jantung, dan paru yang rusak pada kemasan rokok sebenaranya
sudah dapat membuat orang bergidik ngeri. Boleh jadi banyak orang tersadarkan
dan ketakutan dengan gambar tersebut lantas memilih jalan sehat. Sementara yang
lain sudah mencoba berhenti, tetapi frustrasi. Tapi banyak juga yang enjoy aja, tidak peduli.
Peraturan kawasan bebas rokok di tempat umum
seperti bandara, rumah sakit, hingga sekolah tampaknya berpengaruh cukup sinifikan untuk
menghambat kegiatan perokok yang biasanya kebal-kebul
di mana saja, termasuk di dalam bus yang sudah sumpek. Kantor-kantor ber-AC
juga mempersempit ruang gerak. Apalagi sekarang
muncul wacana menaikan harga rokok dengan
mencolok.
Karena semua aturan bersifat memaksa dan bersanksi,
maka segera muncul reaksi pro kontra yang keras. Para ahli hisap dan produsen
jelas menentang sebab mereka dirugikan. Tetapi yang bukan perokok secara
terang-terangan atau diam-diam pasti menyambut gembira semua ketentuan itu.
Kaum hawa juga bertepuk tangan sebab mereka tidak menjadi korban sebagai
perokok pasif lagi.
Karena perilaku merokok sudah addict dan bersifat kejiwaan, maka upaya-upaya penyadaran yang bersifaf
persuasif-psikologis seyogyanya juga dijalankan. Perlu dibangun dengan sistemik
dan berkelanjutan wacana tandingan (counter
culture) bahwa tanpa rokok manusia justru lebih keren dan sehat.
Negara Selandia Baru sudah menggarap sisi persepsi
itu. Di sana muncul larangan membuat kemasan rokok yang terkesan mewah. Sebab packaging sangat berpengaruh kepada gengsi.
Maka keluarlah peraturan, semua bungkus rokok wajib putih sedehana, tanpa
desain macem-macem. Bahkan mereknya wajib ditulis dengan font dan size yang bersahaja sesuatu ketentuan. Ini artinya ada upaya untuk menurunkan
peran rokok sebagai pembentuk citra diri.
Tokoh muda pujaan publik, atlet berprestasi,
selebriti yang gagah tetapi bukan perokok
layak diekspos di khalayak dalam
rangka membangun image bahwa tanpa rokok kita bisa tampil oke. Bila perlu
dibangun opini bahwa merokok adalah budaya masa lampau yang layak ditinggalkan.
Cara-cara yang soft
seperti itu agaknya perlu digalakkan sebab akan membawa dampak signifikan dan
mengenanya tuh di sini. Selain itu juga
tidak terlalu mengundang resistensi. Bila pemasaran rokok sudah digarap dengan
pendekatan psikologis dan neurologis, maka tandingannya seyogyanya juga memakai
jurus-jurus sejenis. (adriono.com)
Sampai jumpa. Penulis senin-kemis. Nek senin nyenin,
nek kemis ngemis. Sumber ilustrasi: gayahidup.republika.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon