ANTARA BERITA DAN HAIKU

 


Sejak Oktober lalu saya giat “bercocok tanam”. Bukan budidaya sayur hidroponik atau tanaman hias, melainkan menanam benih ide, menyemai kata-kata di kebun haiku. Haiku adalah puisi mini ala Jepang. Wajib terdiri dari 17 suku kata, yang tersaji tiga larik dalam pola 5-7-5. Ini tergolong khasanah sastra klasik negeri Sakura, karena konon sudah ditulis  sejak tiga abad lampau. 

Karena baru berkebun, tentu saya belum memanen. Tetapi mirip petani pemula, begitu melihat tunas bertumbuh, sudah tersenyum senang. Bila kemudian ada satu atau dua buah haiku kecil yang bisa dipetik, girangnya bukan kepalang. 

Bagi saya ini pengalaman baru, menjajal medium ekspresi baru dalam membuat karya tulis. Asyik juga menyapa pembaca lewat serangkaian kata ringkas. Mengomunikasikan suatu pesan dengan jatah suku kata yang amat terbatas. 

Saya yang selama ini terbiasa menulis berita, jadi  menemukan cara baru sekaligus sudut pandang baru dalam mengutarakan informasi kepada khalayak. Dalam beberapa hal ada persamaan antara berita dengan haiku. Keduanya menggunakan gaya bahasa sederhana dan lugas. Menghindari metafora, majas, simbolis, maupun kata konotatif. Meskipun haiku lebih bergaya sensorik, menghadirkan ungkapan berdasar hasil tangkapan indera mata, telinga, hidung, lidah, maupun rabaan tangan. 

Keduanya juga pantang bermuatan opini pribadi. Obyektif dalam menyajikan fakta, sehingga tafsiran dan simpulan diserahkan kepada pembaca sendiri. Sama-sama memanfaatkan momentum, peristiwa, fenomena, maupun kejadian sesaat (present moment). 

Akan tetapi haiku bukanlah berita. Bahkan haiku yang gagal kerap dicap sebagai sekadar “warta haiku” atau cuma laporan pandangan mata belaka. (Meski sebenarnya warta berita pun punya sederet standar kelayakan agar pantas disebut berita.) 

Warta berita sangat antusias menggarap isu-isu dan narasi besar seperti perpindahan ibukota negara, nama capres, resesi, Ukraina, hingga kasus Sambo. Sedangkan topik yang diangkat haiku umumnya tentang keseharian, mikro, bahkan terasa kecil dan simpel. Umpamanya tentang rinai hujan, sayap laron, daun jati luruh, lumut candi, hingga bunyi lato-lato. 

Tetapi besar dan kecil, panjang dan pendek, sesungguhnya relatif. Substansi dan asesori juga kerap saling berkelindan. Mana kulit mana isi kadang bergantung situasi.  Di sini haiku seolah beroposisi dengan berita, meskipun  keduanya sebenarnya dapat saling mengisi dalam rangka memberi kabar, cakrawala pandang,  dan menawarkan asupan batin.   

Berita yang baik juga bukan sekadar sajian fakta biasa, dia haruslah memiliki unsur kebaruan (aktual), menyangkut kepentingan publik, signifikan, dramatis, unik, mengandung human interes, plus satu lagi: viralitas.  Sementara itu haiku memilih jalan yang lebih hening, mengangkat isu-isu lembut, dan cenderung kontemplatif.  Berikut ini contohnya: 

siput melata

pelan pelan dan pelan

sampai ke Fuji

#haiku - Kobayashi Issa - terjemahan Tanpopo Anis

 

bangun bangunlah

temani aku yang sepi

oh anggrek tidur

#haiku - Matsuo Basho - terjemahan Cucu Hermawan 

Meski tampak sederhana toh kita tidak bisa menyebut sajian itu sebagai sekadar laporan pandangan mata. Selalu ada makna implisit yang dapat ditangkap. Bahkan bisa bergema cukup lama di benak begitu kita selesai membacanya. 

Itulah uniknya haiku, dalam sajian pendek dia justru punya daya kuat. Bagai ekstrak aneka bahan ramuan yang menghadirkan banyak khasiat. Seperti mesiu yang dimapatkan, dia berpotensi bikin letusan.  Meski hanya terdiri 17 suku kata, ternyata mampu memancing lahirnya puluhan kalimat panjang di benak pembaca. 

Salah satu larik kalimat haiku yang seolah memotong (cutting word atau kireji) dapat memberi efek kejut, tidak terduga, serta menyisakan ruang kosong untuk pembaca berimajinasi. Mungkin karena itu ada yang menyebut haiku sebagai “puisi yang belum rampung.” 

Lewat menulis berita dan haiku, saya merasa menemukan dua jurus bagus untuk menyampaikan sesuatu. Berita memberi kabar yang memperkaya referensi. Haiku (juga senryu) tenang memotret keadaan,    lantas mengajak kita terpekur atau tersenyum simpul.

 jam bandul tua

berdentang satu kali

di malam Jumat

#haiku - Adriono

 

kemarau panjang

rontokkan daun muda

di ranting tua

#haiku- Francia Anatasia

 

wajah cemberut

tatap timbangan jomplang

di pasar pagi

#senryu - Yana Bonek

 

hamparan pasir

lukisan dua hati

tersapu ombak

#senryu-Toni  Romdoni

 

ketukan ngaji*

menggema iramanya

di awal pagi

#haiku-indarti

*metode mengaji an nahdiyah (NU) dengan menggunakan ketukan, untuk menentukan panjang pendeknya bacaan.

 (adrionomatabaru.blogspot.com)



Previous
Next Post »