PENULIS SADAR DESAIN

 


Seorang penulis seyogyanya sadar desain, agar karya tulis yang dihasilkan tidak hanya layak baca karena bobot tulisan semata, tetapi juga membetot minat baca lantaran disajikan dalam tata letak yang ciamik. Apalagi tren literasi sekarang ini terlihat semakin visual dan full colour Itulah salah satu manfaat yang saya petik dari webinar yang diadakan Skillupto 

Ya, Rabu kemarin saya dan Mbak Rini mengikuti zoom webinar tentang Membuat Majalah dengan Adobe InDesign. Bukan lantaran terobsesi agar mahir melayout majalah/buku, tetapi  saya lebih ingin memahami prinsip-prinsip dasar dan cara kerja para layouter. Sebab bagaimanapun mereka merupakan mitra kerja saya yang berprofesi sebagai penulis. 

Untuk alasan praktis, saya ingin punya keterampilan elementer indesign, karena kerap jengkel, hanya lantaran mau menyisipkan alinea pendek atau memperbaiki typo saja, saya harus mencari-cari petugas layout. Tidak bisa menangani sendiri. 

Narasumber Sulistyono menerangkan langkah teknis membuat tata letak majalah dengan software Indesign dengan cekatan dan  mudah dipahami. Dia expert karena berpengalaman menjadi redaktur artistik tabloid Bola dan telah menerbitkan buku-buku panduan Adobe. 

Ada satu statemen menggelitik darinya. “Seorang layouter atau desainer itu harus sering berkomukasi dengan penulis atau reporter. Mau membicarakan tentang penampilan majalah bersama, mengusulkan ide layout, dan memberi masukan kepada penulis tentang bahan-bahan apa yang sebaiknya dikumpulkan,” kata dosen Politeknik Negeri Jakarta itu. 

Imbauan itu membuat saya tersenyum dan sedikit tersinggung. Memang benar, dari dulu sampai kini masih sering terjadi antara penulis dan penata letak berjalan sendiri-sendiri. Orang desain, yang disebut Mas Sulis kebanyakan pribadi introvelt, cenderung pasif dan menerima bahan apa adanya dari penulis. Demikian juga penulis/reporter/termasuk redaktur merasa sudah selesai pekerjaannya setelah menyetor naskah. Soal tampilan, pasrah bongkokan kepada tim artistik. 

Padahal jika kita mau memasok bahan yang lebih variatif tentu pihak layout semakin dimudahkan dan mampu membikin tata letak yang lebih menawan.  Dan ujung-ujungnya karya kita akan tampil menjadi sajian yang eye catching. 

Jadi, sudah tidak memadai lagi bila penulis atau reporter hanya menyetor naskah berupa teks, plus foto ala kadarnya.  Mereka perlu disertakan pasokan bahan penunjang yang merupakan elemen-elemen dasar dari desain antara lain tabel, diagram, bahan infografis, atau bahan olahan statistik lainnya. 

Saya setuju dengan pendapat Mas Sulis itu.  Sebagai contoh, jika kita menulis tentang gejolak harga sebuah komoditas  tentu bakal menarik jika disertai dengan diagram batang tren kenaikan harga selama kurun tertentu. Tulisan wisata akan menjadi sajian keren jika disertai dengan peta lokasi, foto-foto, termasuk sesobek karcis tanda masuk lokasi destinasi. 

Saya baru tersadarkan bahwa “angka” ternyata merupakan elemen grafis yang menarik.  Bila kita menulis artikel tentang “tujuh cara cepat kaya” misalanya, maka setiap butir-butir angka tersebut bisa kita tuliskan angkanya dengan point size yang diperbesar. Dengan demikian layouter akan mendapat umpan dengan memanfaatkan elemen angka sebagai pemanis tata letak. Bukankah pada berita pertandingan sepak bola, angka skor hasil pertandingan akan menarik jika disajikan tersendiri dalam huruf yang besar dan diberi boks.

Tulisan dengan topik kebijakan pemerintah yang menargetkan harga minyak goreng curah sebesar empat belas ribu rupiah dapat didukung dengan sajian grafis berupa angka Rp.14.000,- yang ditulis agak mencolok disertai dengan ikon kantung plastik, juga tabel harga di beberapa kota. 

Untuk artikel sejarah atau ilmu sosial lainnya yang cenderung naratif masih bisa diakali dengan menyertakan data misalnya infografik tonggak-tonggak (milestone) peristiwa penting.  Pada akhir naskah yang kita tulis, ada baiknya kita menyertakan ulang kutipan kalimat penting atau  statemen yang menarik yang menjadi inti dari tulisan. Harapannya nanti, oleh penata letak, kutipan itu dipasang tersendiri dengan huruf italic dengan font agak besar, untuk memecah kejenuhan halaman karena sajian teks yang terlihat menyemut, saking banyaknya. 

Ya, seorang penulis seyogyanya memang sadar desain. (adrionomatabaru.blogspot.com)



 

Previous
Next Post »