BAKAT YANG TERKIKIS


Dulu ketika sekolah di SMP Islam Lawang, Kab. Malang, saya iri dan kagum kepada empat orang teman. Mereka adalah Pandi, Cecep (Effendi Alamri), Rohman Sinyo, dan Agung Wahyoko. Mengapa demikian? Karena keempat teman itu pinter menggambar/melukis.
 

Saya ngiri sebab waktu itu diam-diam saya juga punya mimpi jadi pelukis terkenal, meskipun sadar kualitas gambarku di bawah mereka. Sebagai ABG saya tertantang sekaligus agak minder karena menganggap mereka adalah kompetitor yang kuat. Sementara di rumah saya rajin menggambar wayang kulit (sekaligus melobangi pakai tata dipukul palu) dari kertas karton bersama Sukarlan, teman sekelas yang tinggal di depan rumah. 

Pandik saya kenal sebagai perupa yang goresannya lembut. Alumnus Unesa itu kalau melukis cewek selalu cantik sempurna. Sampai sekarang saya masih setia mengintip karya indahnya yang kerap diunggah di fesbuk. Ada Cecep yang gambarnya juga bagus. Dia lurus mengikuti minatnya hingga kuliah di IKIP Malang jurusan seni rupa. 

Sedang Rohman Sinyo serius menapaki jalan lukis sampai sekarang. Beruntung saya sempat sambang ke galerinya yang keren di kawasan Ancol, Jakarta, dulu sebelum pandemi. Lalu sahabatku Agung Wahyoko juga terampil dalam menggambar. Saya masih ingat kalau dia menggambar selalu dirubung teman-temannya. Nggambarnya cekatan sekali, srat..sret…srat.. sret… sepertinya gak takut salah, tahu-tahu jadi. Begitu tegas dalam menorehkan pensil, sehingga meja tempat menggambar ikut bergoyang-goyang. 

Lalu datang masa kelulusan. Kami pun berpisah. Saya melanjutkan sekolah ke SMEA Kosgoro, menyimpang dari dunia lukis. Sekolahannya di sebelah pabrik tetes Jl. Madukoro.  Sejak saat itu saya tidak pernah lagi membawa buku gambar ke sekolah. Hari-hariku disibukkan dengan belajar akuntansi, menghitung premi asuransi, mengetik dengan 10 jari, hingga merancang strategi marketing. PKL pun di Koperasi Karyawan RSJ Sumber Porong. 

Begitulah. Pada akhirnya semua orang akan menapaki jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tapi satu pelajaran yang kudapat: sebuah bakat yang tidak diasah lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Saya sekarang tidak lagi terampil menggambar manual seperti dulu. Sesekali hanya mengolah foto di software Photoshop atau mendesain di Coreldraw untuk keperluan kerja.

Kini setelah tua, yang tersisa hanya kekaguman kepada empat teman tadi. Tak ada lagi rasa iri. Sekarang toh saya masih bisa menghibur diri. Meski urung jadi pelukis, saya bersyukur karena masih bisa melukis dengan kata-kata. Ya, saya cukup menjadi tukang ngarang saja hehehe…. 

(adrionomatabaru.blogspot.com)

 

Previous
Next Post »