Arjuna berjalan tergopoh mencari ibunya, Dewi Kunti. Di sampingnya melangkah wanita jelita dari Negeri Panchala, Drupadi. Sementara di belakangnya, empat saudara kandung Arjuna mengiringinya. Ada Yudistira, Bima, juga si kembar Nakula-Sadewa.

Dia ingin segera menyampaikan kabar bahagia. Sebab di masa pengasingan dia justru memperoleh keberuntungan besar. Baru saja memenangkan sayembara memanah dari Raja Drupada, dan dia telah memboyong hadiah yang kini berada di sampingnya. Putri raja yang konon terlahir dari sekuntum teratai merekah.

Tapi sang ibu rupanya tengah berdoa di tempat pemujaan. Langkah pandawa lima pun terhenti di altar dan menunggu sesaat. Didorong niat kuat untuk berbagi bahagia, Arjuna tak sabar, lalu mendekat dan berkata dari arah punggung ibunya. “Ibu, saya baru saja mendapatkan hadiah.”

Kunti yang belum tuntas berdoa ntas menjawab tanpa mengubah posisi duduknya. “Arjuna, bukankah sudah kukatakan berulang kali. Setiap kalian mendapat hadiah, apapun itu, bagi rata dengan saudara-saudaramu.”

Kontan yang mendengar ucapan itu terhenyak. Termasuk Drupadi tentu. Suasana hening, membuat Kunti merasa perlu menoleh ke belakang. Oh Gusti, ada yang tidak beres rupanya.

Saat sadar telah terjadi kesalahpahaman, Kunti buru-buru meralat ucapannya dengan buraian airmata.  Tetapi kata yang terlontar telah menjadi sumpah yang tak terbatalkan oleh sesal.  Kekeliruan, bahkan ketidaksengajaan, juga suratan nasib. Apalagi bagi  para ksatria Pandawa itu: ucapan ibu merupakan titah yang pantang dibantah.

Lalu enam orang muda di hadapan Kunti itu memilih menaati garis takdirnya. Meski akibat keputusan itu putra-putra Pandu tersebut harus menerima cemoohan dan bullyan dari masyarakat, terutama Kurawa musuhnya. Pernikahan poliandri tidaklah lazim, bahkan penyimpangan. 

Begitulah. Epos klasik Mahabarata telah lama mengabarkan betapa seorang ibu tidak boleh gegabah dalam bertindak maupun bertutur kata. Sebab ucap yang terlontar dapat menjadi surga atau neraka bagi anak-anaknya, bahkan pada perkataan yang tidak tersengaja sekalipun.

Banyak riwayat dan legenda yang juga menggambarkan hal itu. Bukankah kemurkaan ibu bisa menjelma menjadi kutukan? Ketika si anak durhaka tidak sudi mengakuinya ibu kandungnya yang miskin, sang ibu membentak keras: “Jadilah engkau batu… !!!” Seketika itu pula jasad Si Malin Kundang membatu dalam posisi bersimpuh.

Ungkapan “sorga berada di bawah telapak kaki ibu” memang benar adanya. Tetapi sebaiknya jangan ditafsiri sebagai hak prerogratif yang ada di dalam ganggaman setiap ibunda. Bukan pula sebentuk previlese yang gampang dimanfaatkan untuk pembenar tindak semena-semena, untuk memaksakan kehendak, serta emoh disalahkan. Lebih bijak justru dimaknai sebagai peringatan, bahwa keberadaan ibu menjadi asal-muasal dari segala bahagia dan celaka buah hatinya.

Dalam sebuah kesempatan, seorang ibu dari seorang tokoh nasional pernah bercerita kepada saya, bahwa di saat karier anaknya cemerlang, dirinya tidak ikut melambung bangga, tetapi justru memilih laku prihatin dengan memperbanyak munajat. Sebab, sebagaimana pohon, kian tinggi menjulang kian keras pula terpaan anginnya. Semakin sukses orang semakin banyak pula musuh dan godaannya.  

 “Semakin naik posisi anak saya, semakin saya perbanyak al-Fatihah saya buatnya. Begitu juga kepada anak saya yang lain, yang tidak beruntung hidupnya, juga saya perbanyak doa untuknya,” katanya.

Ya, sejatinya ibu adalah bumi yang setia menjaga dan menyangga putra-putrinya sepanjang masa. Ikhlas menerima aneka rupa kelakuan anak-anaknya dengan lapang dada. Bahkan perilaku jahat pun ditangisinya. Seperti Gandari, ibunda dari 100 Kurawa, yang merembes airmatanya setiap kali mendengar kabar duka dari palagan pertempuran Kurusetra. Satu demi satu putranya tewas ditangan Pandawa.

Maka ketika tinggal Duryudana, satu-satunya putranya yang tengah bersabung nyawa  di perang saudara wangsa Bharata, Gandari menunduk pilu di ruang pemujaan. Ibu yang sudah memilih menutupi matanya dari gemerlap dunia itu memanjatkan doa pamungkas:

 “Wahai Penguasa Jagad. Andai ada amal kebajikan yang pernah hamba lakukan semasa hidup di dunia ini Engkau beri ganjaran pahala, maka kumohon berikanlah semua ganjaran itu untuk keselamatan putra sulungku Duryudana.”

Selamat hari ibu. (adrionomatabaru.blogspot.com)


Previous
Next Post »