Tetapi
dalam kadar tertentu, sebenarnya tekanan itu netral adanya. Hanya respons
setiap individu terhadap stres yang berbeda-beda.
Ada yang menyikapi secara negatif sehingga mengganggu fisik, pikiran, emosi,
dan relasi sosialnya. Dalam dunia psikologi stres yang berefek negatif ini
disebut distress.
“Sebaliknya,
ada juga orang yang menyikapi stres sebagai tantangan baru, pembangkit gairah,
mendorong kreativitas, dan menjadi lebih produktif. Stres yang positif ini
namanya eustress,” kata psikolog Drs.
Asep Haerul Gani dalam kajian daring Ahad Malam yang diinisiasi oleh Dr.
Sulthon Amien, Minggu (11/9) kemarin.
Menurut
Pakar SDM dan Hipnoterapi ini, jika semua hal berpotensi menjadi stressor, maka
pertanyaan pentingnya adalah: apakah kita memiliki kemampuan, kemahiran, dan
sikap hidup untuk menghadapi stres? Mampukah kita menghadapi tekanan yang
merupakan gejala wajar itu menjadi eustress,
bukan malah menjadi distress?
Dikatakan,
berkaitan dengan tema stres, kajian psikologi menyodorkan tiga teori. Pertama, stres itu timbul karena adanya
peristiwa yang dialami seseorang seperti terkena PHK, mengalami kecelakaan,
positif Covid, hingga kehilangan pasangan hidup.
Teori
kedua, stres itu timbul akibat dari
persepsi. Penjelasannya seperti tadi. Bila stres dipersepsi sebagai ancaman
maka pikiran akan memicu area negatif di otak yang pada akhirnya akan
menurunkan daya imun dan membuat kesehatan terganggu. Bila stres dipersepsi
sebagai tantangan maka pikiran dan badan justru menjadi berenergi.
Teori
ketiga, berkait dukungan sosial. Tekanan bertubi-tubi yang menimbulkan disstress dapat ditangkal dengan
dukungan sosial dari orang-orang di sekitar kita. Itulah sebabnya buruh di kota yang ter-PHK
akan lebih stres dibanding buruh di desa yang kehilangannya pekerjaan. Di desa
dukungan sosial lebih tinggi dibanding di kota.
Mengenai
dukungan sosial ini Kang Asep mengangkat contoh kearifan lokal orang Sunda yang
lazim disebut “lima UR”. “Pertama, badan sakujur, artinya diri sendiri yang
harus menjadi pendukung utama dalam mengatasi stres. Kedua, batur sakasur (teman satu kasur). Dalam
menghadapi tekanan, pasangan hidup hendaklah mendukung kita. Ketiga, batur sadapur (teman se dapur). Setiap
anggota keluarga adalah pendukung sosial. Jika si adik stres karena tidak bisa Matematika,
si kakak membantu mengajari,” kata dosen psikologi psikoterapi Institut Agama
Islam Latifah Mubarokiyah Ponpes
Suralaya Tasikmalaya ini.
Selanjutnya
batur sasumur adalah tetangga dekat
kiri kanan yang diharapkan dapat mensupport
dan membantu melerai masalah kita. Kelima, batur
salembur adalah dukungan sosial yang datang dari masyarakat. Jadi, lima UR
ini akan dapat mempercepat penyembuhan, menghadirkan kesehatan dan keberkahan.
Seorang
audiens bertanya via chatting Zoom,
“Bagaimana jika penyebab stres justru datang dari anggota keluarga sendiri,
dari batur sadapur?”
Kang
Asep tertawa lalu menjelaskan, di saat pandemi ini setiap orang cenderung
menuding orang lain sebagai stressor. Ini wajar, gara-gara Corona sejumlah
aktivitas yang biasanya dikerjakan di luar rumah sekarang dikerjakan di rumah. Work from home. School from home.
Ada
kegiatan bekerja, belajar, dan kegiatan domestik, campur menjadi satu. Ayah sedang
konsentrasi bekerja, ibu menyela “Pa, tolong dong pasangin air galonnya.” Ibu lagi repot setrika disuruh
membantu anaknya mengerjakan tugas sekolah. Anak mau belajar daring tapi hapenya masih dipakai orang tuanya untuk
chatting.
Lalu
bagaimana dong cara mengatasi stres?
Kang Asep memberi tiga kunci dengan mengacu kepada tiga teori stres tadi. “Pertama, pertangguh diri Anda untuk
menghadapi segala peristiwa dan cuaca. Kedua,
berlatihlah mengelola stres dengan baik sebab stres itu akibat dari persepsi
Anda sendiri. Ketiga, usahakan untuk
selalu memperbanyak dukungan sosial.”
Itulah sebabnya agama menyuruh kita untuk banyak bersilaturahim. Bukan sekadar beranjang sana, tetapi benar-benar menyambung kebaikan. “Saya kenal Pak Sulthon lalu bersilaturahim. Itu belum cukup. Saya harus sampai tahu apa saja kelebihan beliau, begitu pula sebaliknya. Beliau punya ini punya itu, sayapun punya sesuatu yang lain. Bersilaturahim itu adalah menyambungkan semua potensi dan kebaikan yang ada pada masing-masing pribadi, untuk tujuan yang baik dan menguntungkan bersama. Itu baru silaturahim,” katanya.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon