KAMPUNG HALAMAN




Kalirejo, Era 1967-1977
Kampung halaman adalah segumpal impian yang mengendap lalu menempel kuat di dasar cangkir ingatan. Orang bisa saja meninggalkan kampung halaman, pergi merantau ke kota-kota besar. Tetapi kelak, di sela kesibukan hidupnya, kampung halaman bakal melambai-lambai mengundangnya untuk menikmati betapa indahnya rasa pulang.

Inilah akar dari tradisi mudik yang dahsyat itu. Banyak temanku yang kelahiran Surabaya atau Jakarta mengaku masih terheran-heran,  mengapa orang-orang rela berbondong dan berdesakan demi untuk mudik di hari lebaran?

Barangkali kampung halaman adalah setitik surga betapapun tidak sempurna keadaannya. Dalam kebersahajaan bahkan keterbatasan yang ada toh dia bisa mengisi hari-hari masa kecil kita menjadi kaya cerita dan penuh tawa.

Seperti Desa Kalirejo yang menjadi setting seluruh romantika kehidupanku di masa bocah. Kalirejo berada di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Meski aku bangga menyebutnya desa, tetapi sebutan desa bagi kampung halamanku sebetulnya kuranglah pas. Karena tempat kami tidaklah ndesit-ndesit amat.

Tapi kalau mau disebut kota juga belum layak karena sosio kultural kami sebetulnya masih agraris khas desa. Karena posisinya sekitar 17 km sebelah utara kota Malang, maka bolehlah kampungku disebut pintu gerbang kota, kota pinggiran atau dalam bahasa orang kampus disebut kawasan penyangga (hinterland).

Sejak dulu di rumahku sudah ada aliran listrik meski cuma seratus watt. Jalan-jalannya sudah beraspal dengan kualitas mirip hotmiks. Kalau kalian sempat bertandang ke tempat kami, maka akan melihat banyak bangunan rumah loji peninggalan Belanda. Dindingnya tebal, pintu maupun jendelanya tinggi dan lebar-lebar. Menurut informasi terdapat sekitar 80 bangunan kuno di kecamatanku. Sebagian bangunan dialih fungsi untuk asrama atau kompleks militer, sebagian lagi dipakai untuk hunian. 

Terdapat kompleks makam Belanda dilengkapi hiasan patung marmer yang tinggi dan megah. Tapi sekarang telah tinggal cerita, sebab sudah dibuldoser dan disulap menjadi lapangan bola. Lawang dulu menjadi kawasan peristirahatan yang nyaman bagi penjajah Belanda. Di bagian utara kota terdapat Hotel Niagara yang berdiri sejak tahun 1918. Hotel berlantai 5 dengan arsitektur Belanda itu telah menjelma menjadi landmark kota. Stasiun kereta api Lawang berusia lebih tua lagi, dibangun Belanda pada 1887. Koran Kompas pernah membuat laporan dan menyebut Lawang sebagai kota pensiunan.
Berada di ketinggian sekitar 490 dpl, hawa Lawang memang sejuk bahkan cenderung dingin. Apalagi bila pohon randu tengah berbunga, kembang kecilung di ujung ranting pohon dadap merah bermekaran, serta bila posisi laba-laba sudah menghadap  ke atas, itu  penanda saat bedhidhing. Puncak musim kemarau yang dingin malamnya menghunjam tulang. Aku  harus pakai kaus kaki butut agar bisa tidur lelap. Itupun harus dalam posisi menggulung dalam sarung persis trenggiling.  Dinding rumah kami  yang terbuat dari bambu tidak begitu sempurna menangkis angin malam yang menerpa.

Bila pagi membuka mata, aku dan kakak perempuanku suka menyempatkan berjemur di tegal belakang rumah, sebelum berangkat sekolah. Bila bercakap-cakap dari mulut keluar uap, persis pemain bola di Eropa, dan kami suka memainkannya. “Huh, ababmu kothak-kothak,” begitu kakakku bergurau. Artinya, mulutmu bau! Tapi itu zaman dulu, sekarang kota Lawang tak lagi menggigilkan.
Sementara di depan rumah kerap melintas ibu-ibu menyunggi keranjang besar berisi nangka muda, kluwe, maupun sayuran mayur. Kaum pria memikul kayu bakar atau kayu arang untuk dijual di pasar cilik. Pundaknya menghitam karena bertahun-tahun tergencet pikulan. Di sela barang dagangan terselip obor bambu. Jika sepagi ini sudah sampai di kampungku, tak bisa kubayangkan jam berapa mereka berangkat dari rumah di pinggir hutan Mendek sana.

Di Kalirejo masih bisa kunikmati perjalanan matahari yang tidak tergesa-gesa. Suasana sore hingga jelang malam dapat dinikmati dalam suasana keguyuban keluarga karena waktu kecilku belum ada televisi. Seingatku di seluruh kecamatan Lawang baru ada dua pemilik televisi. Pertama, milik PT Patal Lawang, sebuah perusahaan BUMN pemintalan kapas. Kedua, milik Ucok Harahap, penyanyi grup rock AKA yang kondang di era 1970-an. Beberapa saat kemudian tambah satu lagi milik TNI di kantor Zeni Tempur, tak jauh dari rumahku.

Bila kita memandang ke arah barat akan terlihat Gunung Arjuna dan Welirang yang menjulang anggun. Hutan dan ngarai terlihat jelas bila tertimpa mentari pagi. Pada kaki gunung terlihat deretan rumah-rumah dan hamparan perkebunan hijau yang itu adalah pabrik teh PTP XII Wonosari. 
Di sana-sini masih banyak kita temui sawah dan ladang. Aku dan teman sepermainan masih bisa dengan mudah menangkap serangga berwarna metalik samberlilen, kepik emas, kupu gajah, jangkrik, dan gareng pung (sejenis tonggeret).  

Pernah temanku membawa gareng pung ke dalam kelas. Saat pelajaran berlangsung binatang yang bentuknya mirip lalat raksasa itu berbunyi keras. Reet …reet reeettt! Susah payah temanku mengatasi keadaan dengan memencetnya, tetapi serangga bernama ilmiah Cicadidae  itu semakin ribut saja. Kami sekelas tertawa. Tetapi guru zaman dulu tak punya sense of humor sama sekali. Atas nama kedisiplinan, pendidikan harus dipisahkan tegas dengan permainan. Maka tindakan mengantongi gareng pung di dalam kelas adalah pelanggaran berat. Sanksinya: disetrap berdiri di depan kelas sampai siang!

Tetapi teman-teman tak pernah kapok. Lain waktu ada saja yang dibawa masuk dalam kelas. Keong, gangsir, belalang sembah, ular kecil, bahkan pernah seekor ketunggeng atau kalajengking. Tapi yang paling kusukai adalah  menggenggam ulat bulu lalu menyodorkan di hadapan anak-anak perempuan. Mereka pun menjerit dan tunggang langgang. Dan semua tindakan itu bisa berbuah jeweran di kuping atau pukulan penggaris kayu di pantat. 

Tapi anehnya kami tidak pernah melaporkan semua tindakan represif guru ke orang tua masing-masing. Kami paham benar bila mengadu justru akan menjadi bumerang, kami akan mendapat hukuman dobel. Waktu itu orang tua dan guru kompak bersatu dalam mendidik anak. Tidak ada salah paham, apalagi sampai gugat-gugatan. (bersambung, kapan-kapan).

Previous
Next Post »