BUKAN SEKADAR TUKANG ADZAN



 
GEMA azan yang dikumandangkan tidak begitu indah. Amat standar. Bahkan pada suara-suara lengking terdengar parau dan kadang tidak nyampai. Ya, dia cuma muazin kampung. Tentu dia bukan Bilal bin Rabah, sahabat nabi yang gema azannya menggetarkan hati kaum muslimi itu. Dia juga bukan muazin masjid Nabawi dengan lantunan dan cengkok yang elok itu.

Tetapi bila waktu dhuhur dan azhar tiba, dari toa masjid kecil, suara muazin itu yang selalu menyentuh telinga. Iramanya biasa, tidak mendayu, tetapi anehnya terasa benar seruannya. Agaknya dia memanggil umat untuk berjamaah salat tidak dengan suaranya tetapi memanggil dengan ketulusan hatinya.

Di mata para tetangga muazin yang satu ini orang biasa-biasa saja (emang ada muazin yang keren di mata orang sekarang?) Kerjaannya membuka jasa laundry kiloan. Karena bekerja di rumah otomatis dia memiliki waktu dan peluang untuk azan di masjid di dekat rumahnya. Dan dia memilih istiqomah azan di dua waktu shalat itu.

Tetapi sebetulnya bukan cuma perkara dia bekerja di rumah lantas dia dapat jadi muazin. Betapa banyak orang yang rumahnya dekat, bahkan menempel dengan tembok masjid, yang tidak tergerak jadi muazin. Ini sesungguhnya persoalan komitmen, keikhlasan, bahkan soal ketebalan iman seseorang.

Sungguh tidak mudah menjaga waktu shalat. Apalagi mendirikan shalat berjamaah di masjid. Umumnya kita memilih melakukan sendiri di rumah atau menggelar sajadah di sudut ruang kerja. Yang penting menjalankan shalat. Meskipun sudah lama kita mengerti bahwasanya shalat berjamaah itu lebih baik 27 derajat dibanding shalat sendiri. Walau kita juga sudah mendengar warning Nabi yang mengatakan, “Andai aku tidak kasihan kepada anak dan istrinya, sudah aku bakar rumah para pria yang tidak shalat berjamaah di masjid.”

Sedangkan para muazin telah melakukan kegiatan yang lebih mulia dari itu semua. Dia tidak hanya menjaga shalat, tetapi juga mengajak sesama muslim untuk melakukannya secara berjamaah. Muazin  telah bersiap menuju masjid paling awal, sebelum waktu shalat tiba. Setelah bersuci dia berdiam di masjid, berzikir, sambil mengawasi jarum  jan dinding berdetak.

Begitu waktunya tiba. Dia berdiri dan  menyerukan azan. Mengajak bersujud dan mengajak bersama-sama menuju kemenangan/keberuntungan. “Hayya ’alash sholaah…!”, “Hayyan ‘alal falaah…!”

Sungguh muazin adalah tokoh besar yang selalu terselip di keramaian zaman. Dia bukan sekadar tukang azan atau marbot. Orang yang tengah menjalankan sunnat muakad ini  tidak akan pernah populer, apalagi jika dibandingkan dengan iman yang memimpin shalat berjamaah atau dibandingkan dengan para ustad yang memberikan tauziah seusai shalat fardhu.

Tetapi menjadi muazin tentu butuh kapasitas iman, komitmen yang kuat, dan istiqomah. Oleh karena itu wajar jika Nabi memuji keutamaan muazin dan menyebutnya sebagai salah satu amalan sorga.
Dari Abu Hurairah, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, 'Seorang muadzin akan diampuni dosanya sejauh suaranya, dan setiap yang basah dan kering akan memintakan ampunan baginya. Yang melaksanakan shalat berjamaah, maka baginya akan ditulis dua puluh lima kebaikan dan dihapuskan dosa-dosanya di antara waktu shalat'. (H.R. Shahih Ibnu Majah).
Jadi, sungguh, muazin bukan orang sembarangan.  (*)

Adriono, pemerhati masalah sosial budaya.
Ilustrasi: edwinprayoga.wordpress.comic


Previous
Next Post »