Kemarin sore saya iseng nonton
ANTEVE, film “Mahabharata” versi India. Dengan menyaksikan acak
sembarang episode, tetap saja saya menemukan banyak makna serta pesona sastranya. Agar tidak lepas dari ingatan, saya mencoba
“mengikatnya” dengan tulisan berikut ini. Siapa tahu ada manfaatnya.
Hati Kunti berbunga-bunga. Wajahnya berbinar meski tanpa senyuman. Wajar dia bahagia, sebab esok hari anak sulungnya yang bernama Yudistira, bakal dinobatkan menjadi Pangeran Mahkota Hastinapura. Sore itu Kunti tengah menyodorkan nampan berisi kain kepada adik iparnya, Gandari. Kain yang terindahlah yang bakal disampirkan ke pundak si sulung Pandawa itu, saat upacara seremoni nanti.
Gandari menerima nampan itu, lalu jemarinya meraba-raba permukaan kain. Diapun berucap: “Kakak Ipar, tolong bantu aku untuk memilih kainnya.” Yang dimintai tolong menolaknya dengan halus.
“Mataku tidak bisa melihat,” desak
Gandari. Semenjak menikah dengan Raja Destarastra yang tunanetra, dia memang bersumpah
menutup matanya dengan kain merah. Selamanya.
“Tapi engkau adalah permaisuri,
lebih berhak melakukannya,” jawab Kunti beralasan.
“Ini bukan soal hak, tetapi soal kelayakan,” balas Gandari.
Kita tahu, secara formalitas Destarastra memegang tampuk kepemimpinan. Sehingga, kalau mau, dia punya kuasa untuk meletakkan mahkota di atas kepala anak kandungnya, Duryudana. Tetapi Destarastra dengan berat hati mencoba berlaku adil: menyiapkan penyerahan “tahta titipan” itu kepada pewaris sah dinasti Kuru. Meski keputusan itu jelas bikin kecewa berat anak kandungnya sendiri.
“Jikalau engkau mau, aku bisa
meminta agar anakmu Duryudana saja yang menjadi pangeran mahkota,” Kunti
menyodorkan solusi.
Gandari menggeleng karena dia menyadari secara garis keturunan maupun secara kompetensi, lima putra Kunti lebih layak menjadi calon pemimpin negeri. Tetapi dia gagal menyembunyikan suasana hatinya.
“Tetapi kau terlihat sedih?” kata
Kunti lirih.
“Dirimu bahagia karena anakmu akan menjadi pangeran mahkota. Tapi ketika hal itu membuat cita-cita anakku kandas, saya berhak untuk bersedih. Kita sama-sama wanita, sama-sama punya putra,” ujar Gandari seraya bergerak menjauh. Mencoba menghindari percakapan lanjutan.
“Mengapa sekarang kita jadi berjarak?”
celetuk Kunti.
“Kebahagiaan memang bisa menciptakan
jarak. Kesusahan dapat mendekatkan jarak,” jawab permaisuri dan bersicepat pergi.
(*)
-----
Begitulah. Ungkapan Gandari menarik. Ya, kesusahan dapat mendekatkan jarak antara orang satu dengan orang yang lain. Mungkin hal itu karena diikat oleh perasaan senasib, lantas mereka mendekat, saling curhat, lantas bersahabat. Sebaliknya kebahagiaan seseorang kadang justru menciptakan jarak antar pribadi dengan pribadi lain, meski sebelumnya mereka sudah akrab.
Sejumlah orang diam-diam sengaja mengambil
jarak dengan saudara atau teman yang tengah memperoleh kebahagiaan, kekayaan,
kemenangan, ataupun kekuasaan. Kita kadang juga enggan datang menghadiri
pertemuan keluarga besar, reuni sekolah, atau menyambung silaturahmi, lantaran dirambati
sedih dan malu lantaran merasa nasib kita tidak seberuntung mereka. Atau tahu-tahu
terbit rasa jealous begitu menyaksikan orang lain sukses,
meskipun kita tidak mau mengakuinya. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon