Mata air adalah sumber kehidupan makhluk hidup di bumi. Maka menyaksikan sumber air amat menyenangkan. Patut disadari bahwa ini bukan pemandangan yang biasa-biasa saja. Dan saya sedang menikmati segarnya sumber air di destinasi wisata Boon Pring, Malang.
Mungkin kita sudah merasa tercukupi kebutuhan air bersih saban hari. Tinggal putar kran, air PDAM muncrat deras. Berwudu di masjid dengan air berlimpah. Saat haus tinggal ambil gelas kemasan atau pencet dispenser di sudut ruang. Akibatnya, kita merasa no problem dengan air bersih.
Padahal ketersediaan air bersih di sejumlah daerah tetap menjadi problem pelik. Meski di sejumlah kawasan teratasi tapi peta kawasan rawan air Jatim berubah-ubah tempatnya, dan malah cenderung bertambah. Sumber air kian menyusut, seiring dengan pesatnya perubahan kondisi di hulu, penambangan, dan alih fungsi hutan menjadi sawah lahan produktif dan perkampungan.
Saya jadi ingat ucapkan Ir. Baju Trihaksoro, MM, Kepala Dinas PRKP & CK Jawa Timur, dalam wawancara dengan beliau di kantornya, yang memberi gambaran umum mengenai hal itu. Dikatakan, dulu dalam kurun 10 tahun, target mengatasi kawasan rawan air di Jatim pernah dapat diselesaikan.
Tetapi pada 2019 muncul lagi 544 desa rawan air di Jatim. “Kita berusaha kurangi secara bertahap 76 desa, kemudian 82 desa. Tetapi ternyata data ini bergerak terus, karena SK bupati/walikota dikirim ke BPBD, sehingga dapat segera diketahui,” katanya.
Di Boon Pring yang berada di kawasan Desa Sanankerto, Kec. Turen, Kab. Malang, Jatim, masih terdapat sedikitnya enam sumber air bening yang terawat. Dua yang terbesar adalah Sumber Towo (tawar) dan Sumber Dem (adem). Warga setempat memercayai dua sumber ini berkhasiat untuk terapi tulang linu dan awet muda.
Lalu ada Sumber Maron, Gatel, Krecek, dan Sumber Seger. Yang disebut terakhir ini memang bening, dan warga sering meneguknya secara langsung. Semua sumber tersebut bermanfaat menghidupi penduduk di sana. Mengairi sawah ladang, juga kini jadi wisata rakyat yang mulai ramai lagi dikunjungi wisatawan setelah dihajar pandemi.
Boon Pring dikelola oleh BUMDes Kerto Raharjo. Ini sebentuk upaya nyata melindungi sumber air yang inspiratif. Awalnya kepala desa setempat beserta kolompok tani bambu tergerak merawat dan menanam bambu di situ. Kemudian pada 2015 dikembangkan lagi menjadi ekowisata Boonpring yang artinya anugerah bambu.
“Dulu ranu-ranu di
sini masih sepi, banyak pohonnya. Setahun sekali digelar orkes dangdut pada
saat bersih desa. Seponsornya rokok Bentoel,” kata Lilik, pedagang yang buka
lapak kuliner di situ.
Sungguh senang memandangi mata air. Tampak air jernih membual-bual dari pusat sumbernya. Lalu membentuk gelombang serupa gelang-gelang kecil, menggoyang kangkung, pakis, dan tanaman jalar lainnya. Ikan-ikan gesit berseliweran. Air itu kemudian mengalir tenang ke beberapa kolam dan danau. Di permukaan air perahu meluncur perlahan memanjakan penumpang. Sepeda air dan gelak tawa muda-mudi pengayuhnya meramaikan suasana.
Tetapi suguhan mata air agaknya juga menyodorkan tamsil yang lain. Di sekeliling sumber semua tumbuhan pastilah hijau dan segar. Tentu saja, karena mereka tidak pernah kekurangan air di sepanjang tahun. Tetapi cermati, justru karena kelimpahan air itu maka tanaman di sekitar sumber cenderung berbatang lunak dan rapuh. Berbeda dengan tanaman yang tumbuh di lahan kering, biasanya malah eksis menjadi pohon tegakan yang kokoh dan keras.
Boleh jadi dalam kehidupan juga demikian. Kedekatan dan kemudahan akses kepada sumber kekuasaan, sarana, dan fasilitas, memang akan membuat seseorang menjadi subur dan makmur. Tetapi berbareng dengan itu tak jarang akan terbentuk pribadi yang tergantung dan lemah inisiatif maupun daya juangnya.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon