Seni “Memasarkan” Diri (2 Habis): NAMANYA JUGA USAHA

 


Masih melanjutkan soal “memasarkan” diri. Sebelumnya telah diunggah tentang tips membangun personal branding ala Helmy Yahya. Bussines Coach dan Youtuber itu mengutarakan pentingnya menjadi sosok yang berbeda. Dengan memiliki pembeda, katanya, kita lebih berpeluang tertangkap oleh radar para pencari bakat, atau lebih mudah untuk  memasarkan diri. 

Dulu ada permainan populer, namanya Where’s Waldo. Di situ kita diminta mencari Waldo yang mengenakan kaos khas narapidana, berwarna putih faris-garis merah. Ketika berada di antara sedikit orang dan di  tempat yang lapang, jelas Waldo gampang dikenali. Tetapi begitu terselip di kerumunan yang sesak dengan sejumlah orang yang mengenakan atribut yang hampir sama maka kita kesulitan mencari Waldo. Pesan moral dari gim ini: semakin banyak yang mirip semakin sulit dikenali.

Setelah menemukan pembeda, langkah berikutnya adalah kabarkan hal itu kepada publik agar mereka mengenal keberadaan kita. Bila Anda pintar nyanyi atau melawak, ada baiknya ikut audisi dan berkompetisi. “Tapi jangan sampai mengabarkan diri dengan cara-cara yang lebay,” pesan Helmy. 

Memang mengenalkan potensi diri yang berlebihan bisa menimbulkan kesan angkuh dan mudah jatuh kepada perbuatan riya dan pamer (dalam pengertian negatif). Meski  kata pamer sendiri bersifat netral, bahkan bisa positif. Bila pelukis  tidak melakukan pameran, mana bisa dikenal dan laku lukisannya? Ini sama halnya dengan istilah pencitraan yang sebetulnya punya sisi positif tapi telanjur mengalami penyempitan makna sehingga selalu berkonotasi negatif. Lalu pencitraan diartikan perbuatan memoles, mengelabui, atau menutup-nutupi realitas diri. 

“Memasarkan” diri dengan cara yang elegan dan lembut agaknya memang lebih bijak. Sebagaimana yang  disarankan oleh iklan rokok A Mild Ultramild, “saatnya main halus”. Orang-orang pemasaran juga bilang “soft selling” itu justru lebih jitu. Rayuan lebih mengena dibanding paksaan. 

Memang ada orang yang memilih pasif dan tak peduli terhadap branding. Almarhum Bapak saya juga pernah menasihati, “emas yang asli gak perlu digosok, Yon. Orang akan tahu dengan sendirinya.” Tentu saja kearifan lokal itu benar adanya. Tetapi masalahnya, saya tidak boleh gede rasa (GR) bahwa kapasitas saya sekualitas  emas. Jangan-jangan cuma perunggu atau bahkan sekelas kreweng cuilan genteng.  

Ini sama juga dengan ungkapan bahwa orang cantik tanpa dipoles pun tetap memancarkan pesona. Tetapi masalahnya tidak semua orang berparas cantik atau tampan. Maka berdandan secukupnya, menyisir rambut dan berpakaian pantas, rasanya menjadi hal yang wajib. Minimal dalam rangka menghargai diri sendiri dan membuat enak dalam pandangan mata orang lain. 

Branding yang tidak proporsial bisa berdampak kontraproduktif bahkan jadi bumerang. Apalagi bila branding itu cenderung manipulatif. Maka persepsi yang muncul adalah kemunafikan dan bisa berbuah cibiran. Politisi yang dibranding dengan jajaran baliho raksasa di mana-mana bisa jadi akan terdongkrak  keterpilihannya (elektabilitasnya), tetapi bukan mustahil akan menyulut cibiran. 

Kini brand kian diyakini sebagai salah satu sarana sukses. Tetapi ingat, branding bukanlah resep yang selalu mujarab. Dia hanyalah sebentuk ikhtiar. Hasilnya akhir yang menentukan tetap Sang Maha Penentu. Helmy Yahya mampu sukses di dunia hiburan dan kini merambah bisnis konten kreatif dunia maya. Meski dia jago dalam membranding diri, toh dalam praktiknya tidak selalu sukses. Buktinya, saat ikut bertarung dalam pemilihan Gubernur Sumatra Selatan dia tidak berhasil. Ketika maju lagi pada Pilkada Bupati Ogan Ilir dia juga kembali kalah. Namun ikhtiar tidak akan pernah sia-sia, dia selalu berguna dan pasti menghadirkan hikmah.  

Tapi branding tetap mengandung misteri. Pada beberapa orang, yang memang berkualitas emas, tidak perlu repot memasarkan diri, justru malah dikejar-kejar oleh popularitas. Ambil contoh Gus Baha (KH A. Bahauddin Nursalim). Pengasuh Ponpes di Narukan, Rembang, ini tidak pernah membikin channel khusus, tetapi videonya bertebaran di kanal Youtube. Gus Baha sendiri mengaku tidak kepikiran dan tidak ingin menjadi terkenal. Tetapi kapasitas keulamaannya membuat kemunculannya segera meroket dan pengajiannya viral di mana-mana.  

Meski demikian Gus Baha tetap melihat ada sisi positif dari sebuah keterkenalan. Sebagai pengajar dirinya punya kepentingan, bahwa ajaran agama dan ajakan kebaikan perlu diketahui oleh sebanyak-banyaknya orang. Dengan menjadi idola, orang yang berminat mengikuti pengajiannya akan semakin massal. Dengan demikian diharapkan orang yang mengenal dan mengamalkan ajaran kebaikan akan bertambah banyak. (*)

(adrionomatabaru.blogspot.com)

 

Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
Unknown
AUTHOR
December 14, 2021 at 4:32 PM delete

Secara tersirat, dalam artikel yang positif dan informatif serta menggugah tersebut, ada suatu narasi umum mengenai kehidupan manusia di dunia, syarat kesuksesan tidak lain dan tidak bukan adalah kompetisi. Pertanyaan nya? Bagaimana bagi mereka yang bahkan tidak mungkin untuk ikut kompetisi tersebut? Atau secara bijak, apa solusi bagi mereka itu? Adakah teks alternatif selain kompetisi bagi manusia yang sudah individual dengan dirinya sendiri?

Reply
avatar