Sejak
dahulu gema takbir itu sama dan senada. Tetapi senantiasa memantulkan aneka
rasa di telinga yang mendengarkannya. Seruan atas kemahabesaran Gusti Allah itu
bisa memberi kesan kegembiraan yang membuncah, kebersyukuran, haru biru bagi
orang rantau, hingga rasa sedih karena jadi kepada mereka-mereka yang telah swargi.
Ngelingake salah dosa iki
Dulu ketika bocah saya selalu riang gembira ikut takbir berkeliling di desa sambil membawa obor. Gema takbir yang ditingkah letusan mercon adalah dendang kemenangan setelah sebulan kami mampu puasa nutuq, tanpa lobang. “Iyee… mene riyaya (besok lebaran),” kami ucapkan dengan wajah berbunga-bunga.
Namun ketika sudah menjadi orang, gema takbir itu bisa bernuasa sebaiknya, rasa sedih. Terutama ketika masa-masa saya merantau bekerja di luar kota. Bisa dipastikan setiap hari raya pasti tidak bisa pulang. Karena sebagai reporter kami justru sibuk turun lapangan untuk mencatat, memotret, dan melaporkan keadaan.
Lalu takbir yang berkumandang dari masjid dan surau itu membuat diri jadi ngelangut. Suara itu seperti melambai-lambai mengajak hati untuk pulang, untuk segera sungkem kepada orang tua. Almarhum Didi Kempot dengan sangat tepat melukiskan suasana jelang Idul Fitri itu dalam lagu Ora Bisa Mulih.
Mak Bapak aku ra bisa mulih
Bada
iki atiku sedih
Mak
Bapak aku ora teka
Neng kene, aku isih kerja
Hari-hari ini sungguh banyak saudara-saudara kita yang terpaksa tidak bisa mudik gara-gara pandemi. Larangan mudik disertai penyekatan jalan membuat mereka yang nekad harus putar balik kucing ke rumah masing-masing, meski banyak juga yang “berhasil” lolos.
Tentu pelarangan ini membuat ketidaknyamanan. Tapi demi mencegah penularan Corona dan kesehatan bersama, maka kita diminta menenggang rasa dan bersedia menahan diri untuk tidak pulang ke kampung halaman. Toh kesedihan ini masih tertanggungkan lantaran dirasakan secara massal dan demi kebaikan bersama.
Yang justru lebih sedih dari itu adalah orang-orang perantau di kota besar yang tidak bisa mudik karena alasan ekonomi, tidak punya uang untuk berlebaran di tanah kelahiran. Ini jelas prihatin sungguhan karena ketidakmudikannya disebabkan alasan yang internal, yaitu ketidakberdayaan pribadi.
Ning kene kaya ngene rasane
Pingin mulih isih kurang sangune
Namun ada juga sejumlah orang yang “berhasil” melenggang mudik tetapi tetap dengan wajah murung. Lewat televisi kita melihat seorang pengendara motor nekad mudik ke Lampung, Sumatera. Naas, di tengah perjalanan perempuan muda itu tercegat petugas. Tanpa mendebat, matanya langsung basah berlinang.
Dirinya mengaku tidak hendak mudik, tetapi benar-benar akan surut pulang ke Lampung. Dia tak mampu bertahan di ibukota karena telah ter-PHK dari tempat kerjanya. Terjadi pengurangan karyawan besar-besaran karena omzet perusahaan anjlok drastis dihajar Covid. Rupanya sang petugas merasa kasihan. Lalu dilepaslah perempuan itu untuk mudik permanen.
Gemanya
memantul-mantul sesuai suasana hati.
Semoga
kita mampu mudik, mudik kembali kepada fitrah.
foto: Kabar24-bisnis.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon