Tampil dengan konstum sederhana, kemeja putih
dengan kopyah hitam yang ditarik sedikit ke belakang, nyaris tanpa asesoris
agamis, toh tidak mampu menyembunyikan kepandaiannya.
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, muncul dengan
model pengajian yang agak ndeso,
tetapi sanggup mendominasi dunia maya. Videonya tak henti berseliweran di Youtube dengan ratusan ribu follower
dari kalangan santri tradisional hingga netizen milenial.
Ketika live streaming
pengajiannya sedang berlangsung, emoticon
jempol dan godhong waru di smartphone tak henti bermunculan bagai laron.
Pada ruang chatting susul-menyusul orang
mengisi daftar hadir: “Pontianak hadir, Gus”, “Ngawi nderek ngaos”,
hingga “Johor turut menyimak.”
Saya yang bukan orang pondokan, jadi bersyukur karena
dapat mencicipi suasana belajar kitab-kitab klasik dengan model terjemah dalam
bahasa Jawa. Meski tidak 100% menangkap, karena kerap dicampur dengan ulasan mengenai
gramatika bahasa Arab, saya tetap
bisa menikmati.
Uraian Gus Baha yang pekat dengan bahasa Jawa justru
memberi nilai plus, bagi saya wong Jowo Deles. Gara-gara sering menyimak
pengajiannya saja jadi kenal sedikit-sedikit tentang kitab tafsir Jalalain, Fathul
Muin, al-Qurthubi, atau al-Adawi.
Banyak tema umum dipandang dengan kacamatanya yang
berbeda. bahkan kadang dengan perspektif baru yang mengejutkan (minimal bagi saya). Umpamanya
tentang istikamah, tentang godaan setan, hingga tentang kehendak Tuhan yang kerap aneh,
unik, dan unpredictable.
Gus Baha menggoda logika mainstream
dengan mengatakan, orang yang “terlalu” istikamah, rutin menjalankan salat
malam atau salat dhuha, itu tidak selalu berarti baik. “Sebab ada masalah dari
sisi konstitusi ilmunya. Wong barang
sunnah kok diwajibne. Kedudukan salat dhuha tidak boleh sampai mengalahkan
salat fardu,” kata kyai intelektual asal Desa Narukan, Kragan, Rembang, Jateng itu.
Tetapi kemudian pendapat itu dinetralisir sendiri dengan
mengatakan, bahwa membangun kebiasaan yang baik itu juga perbuatan yang baik.
Tetapi sebagai sebuah ilmu pengetahuan, Gus Baha merasa perlu mengutarakan
pendapat itu, meski orang tidak harus menyetujuinya. Keluasan ilmu, banyaknya bacaan
yang dilahab membuat pemikirannya menjadi komprehensif, lentur, moderat, tidak
ekstrem dengan bersikukuh mati-matian kepada satu pendapat saja.
Kosa kata yang saya suka adalah di setiap uraiannya kerap dikunci
dengan ucapan: ”Lagi-lagi ini karena
membaca” atau “Lagi-lagi ini berkah
dari belajar.” Gus Baha ada contoh
konkret dari pembelajar sejati. Kecintaannya terhadap ilmu sangat luar biasa, kitab
yang dimiliki tak terhitung jumlahnya. Hal itu diakui dengan ungkapan yang khas:
“Saya ini fanatik belajar”. Apa saja dipelajarinya, mulai dari kitab ulama klasik
hingga ulama kontemporer, mulai ulama garis keras hingga garis lucu.
Oleh karena itu setiap argumennya selalu dilandasi referensi
yang kokoh. Lengkap dengan menyebut sumber acuannya dengan jelas, menyebut
judul kitabnya, penerbitnya, beserta pengarangnya.
Bahkan ditambah dengan penjelasan identitas pengarang serta nama guru-guru
pengarang tersebut. Dirinya berusaha merunut
silsilah sumber keilmuan, sebab baginya “sanad”
dan “riwayat” sangat penting untuk menjaga kebenaran.
Penjelasan seperti itu dapat membuat pendengarnya
menjadi percaya, minimal tak berani mendebat, atas keabsahan topik yang disampaikannya.
Sikap ini boleh jadi juga merupakan cara dia untuk menjawab
sebagian orang yang gemar menanyakan: “sumbernya dari mana? kata siapa?
kitabnya mana?”
Banyak pengajar bilang “rajin-rajinlah membaca agar
kamu pandai” tetapi imbauan mulia itu
seakan tak membekas. Banyak peceramah mengutip pentingnya iqra’ (membaca) namun anehnya tak ngefek sama sekali. Boleh jadi penyebabnya adalah karena mereka
aslinya memang tidak doyan membaca. Indikatornya terlihat pada saat mengajar
atau ceramah, jarang sekali mengutip isi sebuah buku atau mengiming-imingi siswa/audiensnya
dengan mengatakan: isi buku ini sangat menarik, kalau sempat bacalah!
Gus Baha tanpa perlu menyuruh orang untuk gemar
menbaca, karena beliau pelahab kitab, bahkan penghafal Al-Qur’an dan banyak
hadis, maka pendengar langsung tersadarkan betapa pentingnya membaca, betapa perlunya belajar
ilmu.
Tetapi diakuinya sendiri, memiliki banyak ilmu itu
tidak otomatis menjadi nikmat. Bahkan Gus Baha bilang ulama itu justru sering bingung
dan gelisah. Banyaknya informasi dan ilmu yang diserap dapat membuat seseorang menemukan banyak jalan yang
otomatis juga akan bertemu dengan banyak persimpangan.
Di perempatan jalan ilmu, kita bisa menjadi gamang,
skeptis, dan bingung. Bahkan, orang cerdik pandai dapat terpeleset ke dalam
perangkap abulia, yaitu menganggap semua pendapat adalah benar atau sebaliknya,
sehingga dia tidak mampu mengambil keputusan.
“Malah kepenak
kayak Sampeyan-sampeyan ngene. Wis gak jelas. Gak patek mikir. Sing penting ibadah, mangan, turu, kelon, wis
bar,” katanya dengan terkekeh lalu menambahkan, ”Itulah barokahnya jadi orang
bodoh.”
Gus Baha memang suka guyon, suka plesetan. Bahasanya
merakyat, tetapi tidak kehilangan kualitas dan hakikat. Bersamanya agama Islam menjadi ceria. Dikampanyekan
kepada semua orang bahwa berada dalam ketaatan itu menyenangkan.
Seperti halnya kecantikan, kepandaian juga sulit
disembunyikan.
Di hadapan pengajian virtual Gus Baha, kebodohanku
juga sulit kusembunyikan.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Foto: Nusadaily.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon