Setiap profesi memiliki keribetannya sendiri-sendiri.
Dari galeri Masterchef
Indonesia, kita bisa saksikan bagaimana Chef Renata yang begitu kecewa “hanya”
karena warna olahan kepiting agak kematangan, overcooking. Atau chef Yuna mereweli peserta kompetisi “cuma” karena
rajangan bawang merah yang kurang tipis.
Bagi saya yang awam dunia kuliner bisa saja
nyeletuk: “Duh kok ribet banget. Bagi saya makan itu yang penting ada sambal superpedasnya,
lantas lauknya dipenyet, sudah maknyus dah.”
Demikian juga dengan profesi penulis.
Mereka harus serius mengolah ide, berjibaku menaklukkan
kata, demi mempersembahkan karya tulis yang bagus. Agar dapat menyajikan seporsi
olahan yang maknyus di benak pembaca, baik dalam bentuk novel, cerpen, artikel,
esai, hingga sebuah status di medsos. Sementara bagi orang nonpenulis, bisa
saja komen begini: “Masak seserius itu? Bukankah sebuah tulisan itu yang
penting pesannya nyampek, beres kan?”
Beruntung saya kemarin sempat bergabung dan
bergesekan dengan sekitar 42 orang penulis di forum Zoominar merangkai kata dengan tema “Menggambar Emosi”. Mereka
adalah sekelompok orang yang dengan senang hati mau meribetkan diri, siap berpayah-payah
belajar, guna menghasilkan karya tulis yang lezat dan bergizi. Tampil dua narasumber mumpuni yaitu sutradarling Mas M. Desy
Vansophi atau biasa dipanggil Romo, dan special
guest Mas Alan TH, penulis yang novel perdananya berjudul “Sungging” dinobatkan sebagai Best Book of The Year of Asia 2017 oleh Komunitas
Penulis Asia.
Diskusi kali ini menyoal bagaimana cara mengggambarkan
emosi dalam rangkaian kata untuk melahirkan tulisan yang mengalir enak, bernyawa,
berdaya kejut, sehingga orang tak mau berhenti sebelum mencapai klimaks titik
kata penghabisan.
Romo Dedy mengatakan, sering mendapati tulisan yang
sebetulnya isinya menarik dan berbobot, tetapi karena cara penyajiannya kurang
pas, maka karya tersebut menjadi biasa-biasa saja dan hanya dilihat sepintas
lalu buru-buru diskrol.
Menurut owner Fastcomm dan creative director sebuah
advertising ini, sebuah tulisan perlu diberi emosi agar mengena. Jadi, jangan sebatas
mem”berita”kan informasi, tetapi “cerita”kanlah informasi itu. Berita menyampaikan
fakta dengan cara yang datar-datar saja, sedang pembaca umumnya menyukai fakta
yang diceritakan. Di situ pentingnya unsur emosi. Tetapi memasukkan emosi tidak
boleh sembarangan. Ada caranya. “Emosi itu
digambarkan, bukan dituliskan,” sarannya sebagaimana tertayang dalam salah satu
slidenya.
Berikut contoh emosi yang dituliskan: “Sekar merasakan kesedihan yang luar biasa.
Pedih dan perih bercampur aduk menjadi satu.”
Lihatlah semua istilah emosi tertulis di situ: pedih
luar biasa, perih campur aduk. Tetapi paparan, yang maunya mengharu biru itu, tidak
mampu menyentuh apa-apa. Akan berbeda rasa bahasanya andaikata emosi tersebut
dideskripsikan dengan rangkaian kalimat seperti ini:
“Pada siang yang terik Sekar berlari
sekencang-kencangnya. Dia tidak peduli ke arah mana. Dia hanya membutuhkan
lelehan keringat agar bisa menutupi air matanya. Dia hanya membutuhkan kelelahan
fisik agar bisa mengalihkan sebentar dari kelelahan hatinya”
Memang ada konsekuensi. Penulis harus lebih memeras
otak dan sajian tulisan menjadi agak panjang. Tetapi soal panjang pendek tulisan
itu, menurut Mas Dedy, ternyata soal rasa. Relatif. Tulisan pendek yang tidak
menarik akan tetap ditinggal orang. Sebaliknya tulisan panjang akan tetap
dibaca dengan nyaman-nyaman saja sepanjang dia memberikan sesuatu.
“Penulis harus bertanggung jawab untuk memberikan
suatu value yang bermanfaat kepada
pembaca yang sudah mengorbankan waktunya untuk membaca tulisan kita,” kata
pengajar di Jurusan Visual Communication STISI Bandung itu. (Wuih keren statemennya, Bro.)
Resep membuat tulisan menarik berikutnya adalah
dengan memasukkan bumbu-bumbu emosi. Caranya dengan memberi suasana dan diksi
(pemilihan kata). Dua hal ini dapat dijadikan “mainan” bagi penulis agar dapat
membuat pembacanya terpukau. Suasana alam yang tergambar dalam tulisan membuat
pembaca ikut merasakan topik yang sedang kita tulis.
Pemilihan diksi yang beda juga akan melahirkan efek
yang berbeda. Contohnya, penggunaan kata “saya” akan memberi kesan santun dan
bersahaja. Sedangkan pemakaian kata “aku”
akan memberi akrab, mempribadi, tetapi
juga ada muatan egoistis di sana.
Selain dua resep itu (suasana dan diksi) Mas Alan
menambahkan satu trik lagi. Yaitu gunakan sudut pandang yang tepat. “Sebagai contoh,
jika mendiskripsikan panorama senja, maka sudut pandang kita harus jelas.
Sedang menghadap gunung atau membelakangi gunung,” katanya.
Saya setuju dengan Mas Alan. Sudut pandang, angle, pendekatan, perspektif memang
aspek penting yang musti menjadi perhatian penulis. Topik yang ditulis boleh
sama, jika sudut pandang penulisnya berbeda tentu akan melahirkan karya yang
berlainan.
Ringannya tuntutan hukum bagi pelaku penyiraman air
keras ke wajah penyidik KPK Novel Baswedan dapat ditulis dari banyak perspektif. Ulasan yang
menggunakan sudut pandang rasa keadilan akan berbeda hasilnya jika menggunakan
kacamata kepastian hukum formal atau dari sisi politik praktis. Begitulah
kira-kira.
Sungguh saya bersyukur sempat bergabung dalam zoominar
yang diadakan Primadona Film itu. Banyak ilmu yang didapat. Gratis pula. Dapat berbincang
dengan orang-orang hebat. Juga bisa berkomunikasi dengan Arlista Hadhi Putri,
news anchor iNews TV, yang memandu acara dengan sangat baik.
Mungki ini berkah Covid-19. Bisa belajar banyak
ilmu hanya dengan di rumah saja. Dulu guru SD saya pernah bilang: “ Putihnya beras
itu karena gesekan dengan sesamanya di mesin penggilingan.”
Sekarang bolehlah peribahasa itu saya modifikasi: “Terasahnya
nalar itu karena bergesekan dengan sesamanya di forum zoominar.”
adrionomatabaru.blogspot.com.
Sign up here with your email
1 comments:
Write commentsKlu boleh sy mendeskripsikan..pembacaan sy setiap membaca tulisan mas adri..eh..biar akrab, sy sedang melihat mata air yg mengaliri sungai dan semua orang menimmati air nan jernih dari sungai itu..salam semoga semoga tetesan pena mas adri senatiasa menjadi perenung utk semakin memaknai waktu yg diberikan sang khali..salam mas semoga sehat selalu...
ReplyEmoticonEmoticon