Di sepertiga ujung malam dia rutin bangun. Bukan
mengambil wudu dan menggelar sajadah, tapi menyalakan kompor dan menuang minyak ke wajan. Dia memang bukan “ahli munajad”, melainkan ahli memasak ikan. Ya
karena dia memang penjual bandeng presto. Sedini itu dirinya sudah mengawali
aktivitas “ekonomi”nya. Oh, bahkan sudah dimulai sejak hari kemarinnya. Kulakan
ikan, membersihkan, mempresto, hingga menguleg sambal. Saya paham agak detail karena dia tetangga saya sendiri.
Ketika muazin mengumandangkan lafal “lebih baik salat daripada tiduur....!!”,
Pak San sudah sibuk menata dagangannya di rak kaca portable serta memanasi sepeda motornya. Sekali waktu, bila proses
penataan ini bisa diselesaikan lebih
awal, maka dirinya bergegas ke Al-Hijrah,
turut takbiratul ihram di belakang
imam. Tetapi sesudah salam dia tak ikut wiridan, karena khawatir matahari
keburu membuka mata.
Motor distarter dan dicengklak, pedagang presto itu pun menjalani perintah “bertebaranlah
ke muka bumi untuk menjemput rezeki”.
Mungkin doa sederhana dalam bahasa Jawa dibatin dalam hati, “Gusti Allah, nyuwun laris.”
Semua jerih payah itu dilakukan demi menghidupi keluarga.
Demi menjalani fitrah bahwa setiap lelaki bertanggung jawab menafkahi. Dia
melaju menuju Perumahan Bumi Citra Fajar Sidoarjo, menemui para ibu yang butuh
mencari lauk praktis untuk sarapan keluarga.
Pak San tidak sendirian, di tempatnya berjualan sudah
ramai berderet-deret pedagang sejenis lainnya. Mulai dari penjual nasi bungkus,
sayur matengan, bothok, semayi, hingga kue basah. Mereka adalah manusia-manusia
pagi yang sudah bergiat semenjak dini. Dibanding mereka, matahari selalu
terlambat bangun pagi.
Di saat masuk jam-jam Duha mereka masih
berkompetisi menjajakan dagangnya. Bernegosiasi, bertransaksi, sekaligus
bersilaturahmi dengan sesama. Berikhitiar
sebagai bagian dari menjalani darma hidup. Tetap menghibur diri menjalani nasib,
meski pasar lagi sepi dilanda pandemi.
Merekalah orang-orang baik-baik yang tidak merasa dirinya
suci. Menjalankan bisnis dengan lurus, karena hal itu memang sudah seyogyanya
dilakukan oleh manusia, bukan lantaran mendalami sederet ayat. Mereka menebar
maslahat tanpa merasa diri hebat. Ajaran sabar tawakal pun telah dipraktikkan
setiap harinya. Ah, jangan-jangan mereka tidak sedang bekerja namun sedang
beribadah. Boleh jadi mereka tidak tengah berjualan tetapi tengah bertransaksi
dengan Tuhan.
Saya jadi teringat ucapan khatib salat Jumat yang
menyatakan bahwa kadang ada kegiatan yang kelihatannya seperti kegiatan duniawi
semata tetapi sebenarnya bernilai ukhrawi. Sebaliknya ada pula kegiatan yang terlihat
seperti ukhrawi tetapi sebenarnya hanya kegiatan duniawi biasa.
Gus Baha, sembari menyitir al Hikam, bahkan mengatakan, “bila kamu rajin salat tahajud hanya
untuk memaksa Allah agar mau memenuhi segala macam keinginanmu, maka pergi
tidur akan lebih baik bagimu.”
Jika demikian, aktivitas duniawi para manusia pagi,
yang sudah ribet jauh sebelum Subuh, sepanjang diniati menjalani sunnatullah mengharap
rida Allah, sangat mungkin merupakan aktivitas yang bernilai ibadah.
Di sepertiga ujung malam, hari ini, saya juga terbangun.
Bukan hendak menggoreng bandeng presto, melainkan karena sudah tidak betah lagi
menahan diri: kebelet pipis.....! (*)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon