Bahkan kini ada tumpeng yang mengikuti momentum.
Karena sekarang sedang demam perhelatan olahraga se-ASIA, maka lahirlah tumpeng
Asian Games. Setidaknya itulah yang terjadi pada lomba menghias tumpeng di
Fakultas Kedokteran Unair Surabaya, Minggu siang.
Dokter dan karyawan peserta lomba putar otak
memeras imaji untuk menghadirkan tumpeng yang yahuud. Dalam tempo satu jam
terciptalah sajian tumpeng bermacam bentuk, yang sebagian di antaranya
mengangkat tema sport. Ada bendera
kontingen di antara nasi kuning. Tak ketinggalan tiga maskot Bhin bhin, Atung, dan Kaka yang lucu
berdiri di antara buah, lauk, dan sayur.
Kreator tumpeng tak lagi terikat dengan pakem model
tumpeng robyong, sangga langit, arga
dumilah, megono, atau tumpeng gunungsari.
Pokoknya mereka berekspresi sepenuh imajinasi. Maka lauk yang tersaji tidak
lagi tujuh jenis, meskipun “kaidah”nya diwajibkan pitu (tujuh) macam lauk yang
berasal dari hewan laut, darat, dan udara, lantaran pitu bermakna pitulungan (pertolongan), yang berarti
memohon pertolongan. Maka sah saja jika kemudian muncul ayam suwir, kentaki, sosis,
perkedel, abon, dadar telur, lele, bandeng, hingga iwak teri.
Sayurnya timun, tomat, seledri, selada, hingga
wortel. Kacang panjang tampaknya masih dipertahankan. Mungkin lantaran dapat
dianyam menjadi berbagai bentuk yang artistik. Padahal, zaman dulu kacang
panjang dimaknai sebagai simbol agar kita senantiasa berpikir yang panjang. Dihadirkan
sayur kecambah agar kita terus bertumbuh.
Ada “urap-urap”, bahwa urip harus urap, hidup harus berbaur atau bersosialisasi.
Yang menarik, meski semua bebas berkreasi, ada satu
bentuk yang masih tetap dipertahankan yaitu bentuk kerucut pada nasi tumpeng. Ya,
memang itulah substansi tumpeng. Tanpa nasi yang membentuk gunungan dengan
ujung lancip pada puncaknya, agaknya tidak layak disebut tumpeng.
Di situ terdapat nilai-nilai falsafah luhur dan
ajaran kehidupan yang ditanamkan nenek moyang kita melalui bahasa-bahasa simbolis.
Wujud kerucut gunung mengandung harapan agar kehidupan kita senantiasa bergerak
vertikal, semakin meningkat dan meninggi dalam hal derajat, pangkat, serta
martabat.
Dulu warna tumpeng wajib berwarna putih (lambang kesucian dan bersih
hati) tetapi kini sudah dikembangkan menjadi kuning (keagungan), dan dwi warna
merah putih yang mengacu kepada bendera Indonesia.
Tumpeng mengajari kita untuk fokus kepada Yang di Atas.
Tumpeng adalah akromin dari “Tumapaking panguripan, tumindak lempeng
tumuju Pangeran” (menjalani
kehidupan hendaklah dengan langkah lurus
menuju Tuhan). Ada juga yang memberi tafsir lain, tetapi dengan spirit yang
sama, yaitu “yen metu kudu sing mempeng”
(kalau sudah keluar/tampil harus dengan sungguh-sungguh).
Yang jelas tumpeng telah bermetamorfose melintasi
zaman. Reintepretasi juga terus berlangsung, sebab memang seperti itulah proses
kebudayaan. Tumpeng dimaknai sebagai rasa syukur atas kelimpahan nikmat yang
telah diberikan Tuhan kepada kita. Tumpeng adalah sebentuk tangan yang
menyembah dan memohon kepada Gusti Allah.
Dulu sebelum agama samawi datang ke bumi Pertiwi,
tumpeng telah memiliki artinya sendiri. Sejumlah referensi menyebut tumpeng sebagai
penghormatan kepada gunung, tempat luhur di mana dewa dan dewi bersemayam. Simbol
gunung Mahameru sumber kemakmuran langgeng yang senantiasa memberikan sumber
air bagi kehidupan manusia hewan dan tanaman yang bermukim di lembah ngarai.
Saat ini tumpeng hadir dalam konteks kekinian,
dalam suasana eforia Asian Games yang membanggakan hati. Keberhasilan atlet
kita merenggut 98 medali sehingga
bertengger di posisi empat besar,
penampilan pembukaan dan penutupan acara yang superkeren, serta kesuksesan kita
sebagai penyelenggara dan tuan rumah yang ramah, sungguh patut disyukuri, sungguh
layak ditumpengi dengan tumpeng Asian
Games.
Sambil menyelami makna gunungan tumpeng, terucap panjatan
doa agar bangsa ini semakin maju dan meningkat derajatnya. Semoga ke depan
(siapapun pemimpinnya) semuanya menjadi semakin bertambah baik dan kebaikannya
semakin bertambah-tambah. Bukankah itu substansi dan energi berkah?
Berkah dalam terminologi Jawa lazim disebut “berkat”. Nasi tumpeng beserta lauk dibagi-bagi,
dibungkus daun pisang sehingga menjadi “berkat”,
lalu disantap bersama-sama. Kiranya, tumpeng Asian Games bolehlah dibungkus rapi,
dijadikan berkah, lalu disimpan di lubuk hati.
Maka, nikmat
Tuhan manalagi yang engkau dustakan? (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon