Selepas makan siang, redaktur
memanggilku via telepon interkom. Selaku reporter sayapun bergegas menghadap
sambil dibalut tanda tanya: ada apa bos manggil
saya? Apa berita saya ada yang salah?
Untunglah senyum lebar yang menyambut
kedatanganku. Disodorkan secarik surat seraya berkata, “Nih, kamu yang berangkat
ya.” Ternyata surat itu berisi tugas liputan ke pedalaman Jayapura, Papua.
Alamak ke tanah Papua? Yang segera terlintas dibenak waktu itu cuma satu:
berarti naik pesawat terbang dong!
Wow ini mengagetkan. Saya yang belum
lama jadi reporter harian sore Surabaya Post
tahu-tahu diberi kesempatan liputan luar pulau. Inilah enaknya bekerja di
media, kesempatan untuk mbolang
relatif lebih banyak. Saat itu kalender di meja atasan saya memampang lembar Desember
1991. Keluar dari ruang kaca redaktur saya sangat girang dan berteriak dalam
hati, “Emaak, anakmu lanang kate numpak
montor muluk!”
Pagi-pagi kami sudah kumpul di
bandara Juanda Sidoarjo bagian selatan (sekarang disebut Terminal 2). Kami
tidak masuk melalui jalur penumpang komersial sebab akan diangkut menggunakan
fasilitas TNI-AL. “Kita nantik pakai Fokker,” kata teman wartawan. Saya
mengangguk sok tahu, karena belum bisa membayangkan kayak apa bentuk pesawat
yang dia maksud itu.
Yang pasti kami kemudian disuruh
antre berdiri. Bergantian ditimbang berat badannya. (Oh, mau naik pesawat harus
ditimbang dulu.) Petugas melongok angka di timbangan kotak lalu mencatat di
atas kertas. Rangsel bawaan juga ditimbang. Kemudian dicatat lagi dan dijumlah secara
manual. Saya sempat berfikir, kalau sampai notalnya keliru bisa gawat jadinya.
Bersama saya terdapat puluhan calon
penumpang lainnya. Mereka adalah 20 KK pemulung (anggota Paguyuban Mitra
Pasukan Kuning Surabaya) yang akan mengubah nasib menjadi transmigran di Arso,
Jayapura. Juga ikut dalam rombongan staf Pemkot Surabaya serta beberapa rekan
wartawan.
Tibalah saatnya menjajal
teknologi hasil temuan Wright bersaudara itu. Kami masuk pesawat militer
berbadan tanggung. Hem, begini to
dalamnya pesawat itu? Penumpang duduk berderet memanjang dengan posisi
duduk saling punggung-memunggungi dengan penumpang di baliknya. Kelak saya tahu
bila dalam pesawat komersial masing-masing penumpang mendapat tempat duduk
dengan pegangan kursi sendiri-sendiri. Tapi ini tidak ada. Jadi untuk menjaga
keseimbangan saat perjalanan nanti kami harus berpegangan pada tali-tali jala hijau. Jala yang
bentuknya mirip net bola voli itu terentang persis di punggung penumpang.
Seketika itu saya merasa seperti
remaja wajib militer AS yang akan diterjunkan di Vietnam dalam film-film perang
Hollywood. Oo penerbangan pertama yang mendebarkan. Akankah perjalanan ini
selamat sampai tujuan? Bagaimana kalau tiba-tiba jatuh? Saya ini berangkat
ditugaskan untuk mencari berita, jangan-jangan nanti saya yang malah menjadi bahan
berita. Mulutku komat-kamit melafalkan doa sapu jagat, juga salawat.
Iseng saya mendongak ke atas,
mengamati kabin pesawat yang warnanya biru kusam. Terdapat beberapa kabel yang
berseliweran menempel di atap pesawat. Saya sempat membatin, iki pesawat opo lin bemo Wonokromo-Kenjeran? Kualihkan pandangan ke luar
pesawat melalui kaca oval yang kacanya sudah agak buram. Bising mesin pesawat
mengawali take off berbaur dengan
gemuruh di dalam dada. Bismillahhitawakkaltuallaha.
Pesawat berlari kencang. Getaran
roda bergesek dengan landasan pacu demikian terasa di badan. Kemudian pelahan
semua terasa meringan seperti terangkat ke atas dan getaran itupun hilang. Gusti
Allah, kami telah berada di awang-awang. Kelegaan berangsur datang, bercampur
dengan sensasi senangnya rasa mengangkasa untuk kali pertama.
Tetapi kesenangan itu tidak berlangsung lama. Beberapa kali
pesawat terguncang-guncang kecil. Ada apa? Bukankah di udara tidak ada jalan
berlobang? Belakangan saya tahu ternyata itu akibat cuaca yang kurang
bersahabat. Tetapi guncangan sekecil
itupun sudah cukup membuat nyali menguncup ciut.
Penumpang lainnya kelihatannya
juga mengalami kecemasan serupa. Di dekatku terlihat pasangan muda sedang erat
berpelukan. Sekilas tampak mesra, tapi
sejatinya tidak. Wajah tirus sang suami menegang, sedang wajah istrinya sudah sembab
airmata sedari tadi. Saya kira sejoli
ini tidak lebay, sebab saya juga
melihat ekspresi yang hampir sama pada raut muka penumpang wanita lainnya.
Kalau saya sih cuma tegang dalam satu hal: keselamatan penerbangan. Tetapi
mereka jelas mengalami ketegangan ganda. Pertama,
tegang karena terbang perdana. Kedua,
tegang sebab mereka akan menjalani hidup baru di negeri rantau. Belum jelas
apakah kemakmuran akan datang menjelang ataukah hidupnya bakal lebih sengsara
dibanding saat menjadi pemulung di Surabaya.
Kecamuk
pikiran agak mereda ketika dua anggota TNI AL membagi-bagi kotak kue bewarna
putih. Tanpa merek. Mirip kotak kue saat kondangan manten di kampung. Kotak
kuletakkan di pangkuan. Saat itu saya baru menyadari bahwa posisi dudukku tidak
rata air. Terasa agak njomplang ke kiri. Kesan saya pesawat
ini seperti berat di bagian ekor.
Mungkin itu hanya perasaan saya saja. Tapi boleh jadi karena banyaknya
barang bawaan yang ditaruh di bagian belakang. Di sana ada paket ratusan
cangkul, sabit, serta mesin pertanian. Termasuk dua set perangkat gamelan. Apa
dikira dua gong tidak berat?
Seorang staf Humas Pemkot Surabaya menangkap kegelisahan
saya. “Tenang Mas. Nanti pulangnya kita pake
Garuda kok,” katanya entah bermaksud menghiburku atau menghibur dirinya
sendiri. Saya tersenyum kecil, sebab
belum tahu apa bedanya naik Garuda dengan burung besi milik TNI ini.
***
Benar kata PNS
itu. Kami memang kembali ke Surabaya dengan menumpang Garuda.
Interiornya luas dan mewah. Beruntung saya memegang tiket seri F sehingga dapat
menempel di jendela kaca. Kaki bisa selonjor dengan leluasa. Saya ingin
merebahkan sandaran kursi, meniru penumpang lainnya. Kupencet-pencet tombol di
lengan kursi. Tetapi tidak ada reaksi apa-apa. Mau tanya malu. Sudahlah begini
saja, sandaran tegak juga enak kok.
Saat itu penumpang tidak terlalu banyak sehingga terasa bebas
menikmati perjalanan. Terbang demikian nyaman, nyaris tanpa guncangan. Cuaca
sangat bagus dengan langit begitu biru. Gumpalan awan-awan tipis terlihat
seperti sobekan kapas lembut yang mengapung di udara. Menatap angkasa raya nan luas saya tiba-tiba merasa jadi amat sangat
kecil.
Dialah yang Maha Besar dengan segenap ciptaan yang tak
terbatas. Bumi dan laut terlihat sangat beda manakala dipandang dari udara.
Saya bersyukur tak henti-henti mendapat kesempatan langka ini. Tak terasa kelopak
mata saya jadi basah. Saya ini hanyalah anak tukang pembuat cetakan kue di
desa, kok ya bisa berada di langit Nusantara.
Sekarang, saya sudah sering naik pesawat untuk urusan pekerjaan.
Tetapi kenangan mengantar pemulung itu tak bisa pudar dari ingatan. Saya sudah pernah menikmati Boeing jumbo dengan kapasitas ruang
penumpang dua lantai, atau berada di
dalam helikopter yang terbang rendah di atas pucuk-pucuk pohon kelapa. Anehnya,
sensasi terbang pertama ke Papua tak kunjung terlupa.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
sumber gambar: gofreedownload.net
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon