Semakin memasuki hari-hari
terakhir bulan suci, semakin kentara paradoks yang terjadi. Para ustad dan kiai
gencar mengajak muslim untuk meramaikan malam-malam sepuluh hari akhir Ramadan,
tetapi yang ramai justru pusat-pusat perbelanjaan. Kita diajak berburu lailatul qadar, yang diserbu malah stan
bazar.
Mubalig mengajak perbanyak tadarus,
shalat malam, dan berihtikaf, dijawab
duh… mana sempat. Kami masih sibuk
menaikkan setumpuk belanjaan ke bagasi untuk diangkut pulang. Sesampai di rumah pasti tepar kepayahan. Shaf (barisan) salat tarawih di masjid terus
menyusut, sedangkan “shaf” kendaraan
di tempat parkir pasar besar bertambah meluber.
Semua telah tahu kemuliaan malam
seribu bulan, karena sudah diajari guru dan sudah sering keluar dalam soal
ulangan. Tetapi mengapa pengetahuan tidak sanggup menggerakkan perbuatan? Mengapa
kita menjadi pribadi yang gagal paham terhadap perintah dan larangan? AADC (Ada Apa Dengan Cara Keberagamaan
kita)?
Sungguh benar bila dikata Ramadan
adalah bulan ujian. Ujian kesabaran, ketaatan, serta ujian mengendalikan nafsu
rendah. Seperti halnya ujian sekolah, ada sebagian yang sukses, ada yang lolos,
ada pula yang gagal.
Harus diakui ujian Ramadan semakin
tahun semakin berat tantangannya. Yang berat bukan soal mampu tidaknya menahan
lapar dan dahaga, melainkan godaan lain yang menggepur setiap saat. Godaan nafsu
berbelanja kian menggilamelalui cecaran iklan yang memberangus akal sehat.
Godaan syawat yang tiba-tiba berkelebat di depan mata pada saat kita berada di tempat
umum atau tahu-tahu nongol di layar smartphone.
Godaan untuk menipu dan mencuri juga
kuat karena daftar kebutuhan (baca: keinginan) untuk merayakan Idul Fitri telah
berderet panjang. Godaan emosi lantaran melihat ulah oknum pejabat dan pesohor
yang bertindak culas dan kotor. Serta sederet godaan penglihatan, pendengaran lain
yang memungkinkan puasa kita terpuruk jatuh ke dalam kategori puasa sia-sia,
sebagaimana ditengarai Nabi: “Berapa
banyak seorang yang berpuasa tidak ada bagian dari puasanya melainkan lapar dan
berapa banyak seorang yang bangun beribadah pada malam hari tidak ada bagiannya
dari bangun malamnya kecuali begadang.” (HR. Ibnu Majah). Naudzubillah.
Salah satu penyebab beratnya
godaan puasa dan timbulnya aneka paradoks pada bulan Ramadan adalah karena
dalam kehidupan modern kita telah terjadi fenomena yang oleh pakar social study disebut sebagai
komoditifikasi. Artinya semuanya telah dikomoditaskan. Tidak hanya benda yang
dibarangdagangkan, tetapi juga nilai-nilai, momen, bahkan ajaran agama. Coba
simak, apa yang tidak dijualbelikan orang zaman sekarang? Bahkan gelar, tangis-tawa,
hingga harga diri bisa dijual beli.
Kalau semua stasiun televisi
dalam bulan Ramadan ini tiba-tiba berupa menjadi channel religius, bertabur acara Islami, serta menghadirkan
infortainment berbasis syariah, maka umat Islam jangan kesusu ge-er dan bangga bahwa pengelola tivi telah mengalami
pencerahan ruhani dan gairah beragama telah semarak di negeri ini. Itu semua
tidak lain adalah komoditifikasi semata. Ya, bulan Ramadan adalah komoditas superpotensial.
Ramadan bukan saja bulan suci tetapi juga bulan sexy di mata kaum kapitalis sejati.
Sepanjang banyak iklan yang masuk, maka tidak masalah
semua program televisi dibikin religius. Menit-menit menjelang azan Magrib
adalah waktu keramat yang dijual kepada pemasang iklan dengan harga tinggi, sebab
pada saat itu banyak orang ngabuburit
di depan televisi. Saat sahur juga menjadi prime
time yang mendatangkan banyak uang. Bila perlu, kapan-kapan, bikin saja acara Rame-rame Shalat Tahajud Bareng Artis Top.
Kalau pemasang iklan berdatangan, why
not?
Maka suasana Ramadan menjadi semarak
di mana-mana. Kian gemerlap kemasannya, entah bagaimana dengan kualitas isinya.
Seiring dengan itu berbagai godaan mengintip di setiap sudut. Lalu paradokspun
terjadi. Ada peragaan sikap serakah dari orang yang berpuasa tapi tak malu-malu
memborong daging beku murah di tempat operasi pasar, yang sebetulnya diperuntukkan
bagi rakyat miskin. Ada orang berduit
yang macak miskin agar bisa ikut
antre beli sembako murah atau mendapat jatah kupon pembagian zakat.
Pemain Ramadan
Dalam iklim zaman
yang serba diperdagangkan ini terdapat dua kelompok yang menjadi pemain yang paling
heboh di bulan suci ini. Kelompok pertama adalah pebisnis bermental sekuler yang
menganggap Ramadan tak lebih dari sekadar panen raya yang harus direngkuh
sebanyak-banyaknya. Kelompok kedua adalah para pembeli konsumtif yang memandang bulan
puasa sebagai momentum memuaskan dahaga belanja dan bermegah-megah diri.
Tetapi untungnya,
di luar dua kelompok itu, terdapat kelompok lain yang juga turut mewarnai keadaan.
Mereka adalah orang-orang yang masih bermata jernih dalam memandang puasa
sebagai bulan penuh ampunan. Mereka tidak larut dalam hingar bingar aktivitas
transaksional. Mereka kelihatannya menjalani kehidupan dengan biasa-biasa saja,
tetapi sesungguhnya tengah berupaya keras menyempurnakan perintah
wajib serta memperbanyak amalan
sunnah, demi mendapatkan “grasi” pengampunan Tuhan.
Dalam
kelapangan harta maupun kesempitan rezeki mereka tetap istiqomah menghadirkan
takjil sebisanya. Mereka menyantuni anak
yatim dan membagi bingkisan lebaran bagi tukang becak, kuli, dan kaum duafa di
sekitarnya. Ber-kerja bakti membersihkan masjid lalu memakmurkannya.
Yang membesarkan
hati adalah di antara mereka terdapat kelompok-kelompok anak muda yang taat
beribadah dan memiliki kepedulian sosial begitu tinggi. Menjelang waktu berbuka
mereka telah siaga di trotoar dan membagi-bagikan makanan gratis bagi
pengendara motor yang pulang kerja.
Mereka tampaknya
tak begitu peduli dengan gagasan bisnis apa yang cocok dijalankan di bulan suci.
Hatinya lebih disediakan untuk orang lain dengan cara memberi kegembiraan bagi
muslim yang sama-sama menjalankan puasa. Kelompok ini bersemangat menjadi
relawan yang menghimpun dana lewat medsos maupun mempersuasi hati teman-teman
sebayanya dengan bahasa gaul biasa: Oii…
berbagi itu keren men..!
Di mata saya
mereka justru terlihat sebagai “wali-wali
Allah” yang berdakwah dengan perbuatan nyata
dan keteladanan. Bukanlah Allah amat mencintai anak-anak muda yang bertakwa?
Sore-sore
menjelang Magrib saya masih menemukan sebuah paradoks lagi. Di halaman
depan gereja, klenteng, maupun wihara sekelompok orang berhati emas tampak sibuk
menghidangkan kolak, es buah, dan aneka
panganan yang siap dikonsumsi gratis saudara sebangsa yang tengah menjalankan
perintah agamanya.
Mengapa saudara-saudara nonmuslim
yang malah menemukan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritualitas di dalam Ramadan
milik kita? Untuk kenyataan yang satu ini saya cuma bisa membatin: kesadaran akan
kuasa Allah memang ada pada setiap hati manusia. Semoga hidayah Allah datang menghampiri
mereka. (adrionomatabaru.blogspot.com)
Sampai jumpa dengan tulisan lain, tiap Senin dan Kamis, di alamat
yang sama. InsyaAllah.
Sumber gambar:
statik.tempo.co.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon