Untunglah aku tidak terlalu
percaya dengan nilai raport. Kalau percaya, niscaya hilang salah satu passion dalam hidupku, yaitu kenikmatan menulis.
Dulu, ketika SD, nilai pelajaran mengarangku selalu jeblok. Langganan dapat
angka lima. Sesekali lima koma. Angka enam adalah prestasi puncakku. Apakah ini pertanda bahwa aku tak bakat ngarang?
Berbeda dengan mbakyuku. Dia pandai mengarang. Nilainya
selalu bagus. Bahkan buku kumpulan hasil karyanya diminta oleh guru kelas VI. Katanya
akan digunakan sebagai contoh/acuan buat adik-adik angkatan berikutnya. Semua
orang pasti sependapat denganku, buku diminta guru adalah kebanggaan terbesar buat
siswa.
Ketika kakakku sudah terampil
menerbangkan imajinasi dan memiliki banyak kosa kata, aku masih menjadi Aziz
gagap. Masih bekutat dengan kegelisahan elementer: harus diisi apa lagi kertas kosong
satu halaman ini? Lalu aku meniru trik teman sebelahku. Tulis saja dengan huruf
yang besar-besar. Besarkan point sizenya,
beres. Tapi ternyata juga tidak beres. Tulisan gede hanya sanggup menutup tiga
perempat halaman buku tulis. Itu berarti harus peras otak lagi, mengais
kata-kata di kamar angan-angan yang sudah habis terkuras.
Bila mengarang, judul favoritku pastilah
Kerja Bakti. Beberapa kali mengarang
tema itu, selalu kubuka dengan alinea pertama yang sama. Begini: Sudah menjadi kebiasaan di sekolahku, setiap
Sabtu diadakan kerja bakti. Anak-anak membawa cangkul, sabit, dan sapu. Sudah.
Sampai di situ macetlah sudah.
Tapi seingatku aku juga pernah
menjajal judul lain yaitu Bertamasya.
Kugarap dengan gaya kronologis. Pagi-pagi
buta aku sudah bangun. Lalu aku mandi. Lalu aku ganti baju. Lalu sarapan. Lalu..lalu… Pokoknya untaian kata-kataku
kusambung dengan kata lalu dan lalu. Mengejutkan, kali ini karanganku mencapai
satu lembar seperempat. Tapi tentu masih dengan huruf segajah-gajah.
Aku tidak tahu persis kapan skill menulisku bertumbuh. Rasanya
mengalir seperti biasa. Seperti halnya aku bisa bermain gitar tanpa dimulai
dengan obsesi menjadi seorang gitaris. Saat SMP kemampuan mengarangku mulai mekar.
Teman sebangkuku, Slamet (alm) pinter
menulis puisi. Salah satu judulnya Taman
Hati. Aku terkesima sampai akhirnya aku tahu bahwa karya itu ternyata
dijiplak dari lirik lagu lama.
Saudara misanku, Ismady, juga mengajariku
cara membuat puisi dan menulis surat-menyurat. Dia aktif menjadi anggota teater
Bengkel Muda Surabaya era Pak Basuki Rahmad dan Pak Akhudiat. Akupun mulai
ikut-ikutan bikin puisi. Temanya kebanyakan tentang cinta yang ringan-ringan. Berikut
ini salah satu contohnya:
Di pinggir jalan sebuah baliho iklan
berbunyi:
Rindu Anda melilit? Minumlah Talsit
Aha, itu puisi humor plesetan
dari iklan obat mag Talsit yang gencar ditayangkan televisi. Kala itu lagi musim
puisi mbeling yang dimotori oleh Remy
Silado. Lantas aku tiru-tiru bikin karya seperti itu.
Memasuki SMEA Kosgoro mestinya
aku menekuni ilmu Akuntansi atau Marketing, tetapi aku malah tertarik pada
pelajaran Bahasa Indonesia. Di luar jam pelajaran, aku sering berdiskusi dengan
guru Bahasa Indonesia, Pak Sunaryo, tentang sastra dan dunia literasi. Aku
menanyakan apa yang dimaksud dengan puisi konkret atau isu terbaru lainnya.
Uniknya, selesai ngobrol informal di jam istirahat itu, Pak Naryo malah
mengangkat topik puisi konkret di depan kelas.
Ketika kelas dua, aku bersama beberapa
teman sempat membidani lahirnya buletin di sekolah. Bentuknya sederhana. Dicetak dengan
teknologi jadul stensil. Kami harus mengetik manual di atas kertas sheet yang lembek dan gampang robek. Aku
menggambari sendiri cover depan dengan pensil khusus. Kemudian sepulang sekolah
awak redaksi bergantian memutar engkol mesin stensil untuk menghasilkan produk
perdana. Di halaman dalam termuat cerpenku bertajuk Ketika Jam Beker Berdering.
Sayang tidak kuarsip, sehingga karya pertama itu hilang jejaknya. Buletin
itu terbit untuk pertama sekaligus untuk terakhir kalinya.
Saat kuliah, kegemaranku terhadap
dunia baca-tulis makin berkembang. Apalagi di kampus kami terdapat perpustakaan
yang besar dan lengkap. Aku seperti mengarungi samudra ilmu dan tenggelam dalam
lautan buku. Seperti meledak rasa
hatiku, ketika artikel pertamaku, berjudul Ciap-ciap
Hati mampu menembus koran kampus KOMUNIKASI. Kupamerkan karyaku ke
teman-teman sekos-kosan dan seangkatan.
Kuceritakan beberapa kali kesuksesan ini, hingga teman-teman mungkin bosan
mendengarnya. Aku jadi lebay saking bahagianya. Tapi penulis
mana sih yang tidak mekar kepala dan dadanya
begitu naskah pertamanya termuat di media massa?
Sejak saat itu aku jadi terpacu
untuk menulis dan menulis lagi. Apalagi setiap dimuat mendapat honorarium. Ini
butiran vitamin yang diburu oleh anak kos-kosan sepertiku. Aku mengikuti
pelatihan jurnalistik yang diadakan pers kampus. Aku terkagum-kagum melihat
narasumber Bapak Muhajir Efendi (sekarang guru besar Universitas Muhammadiyah
Malang) dan Pak Henry Supriyanto saat memaparkan dasar-dasar kewartawanan dan
trik menulis yang ciamik. Mereka menerangkan dengan santai tapi mengena.
Peserta diklat mendapatkan ilmu mahal sembari terbahak-bahak. Dari pergaulan
dengan para pengelola pers kampus dan kakak-kakak penulis senior itulah aku
mulai merasakan indahnya dunia kata-kata yang tercetak.
Kartini dan Kartono
Tidak puas hanya muncul di koran
kampus, aku mencoba kemampuanku mengirim artikel ke surat kabar maupun majalah.
Tidak sedikit naskahku yang dikembalikan atau terdampar di meja redaktur tanpa
tahu kepastian bakal dimuat atau masuk mesin pencacah arsip. Aku semakin
produktif menulis ketika sudah lulus kuliah. Gelar kesarjanaan kugunakan untuk
menemani artikel yang kukirim ke mana-mana.
Suatu ketika aku mengantar
sendiri karyaku ke hadapan redaktur Opini Surabaya
Post di lantai 2 gedung TAIS Nasution Surabaya. Kali ini sengaja tak kugunakan
jasa kantor pos karena takut nyampainya
terlambat.
“Opo, Mas?” sapa pria necis yang
belakangan kuketahui bernama Pak Suharto. Saat kutemui, dia duduk menghadap
meja yang dipenuhi serakan naskah dan koran.
“Mau mengantar
naskah, Pak,” jawabku berusaha sopan.
“Tentang opo?” tanyanya lagi.
“Tentang
Kartini.”
“Waduh… Kartini maneh. Sampeyan lihat itu,” katanya seraya menunjuk
tumpukan amplop di depannya, “Sakmonokehe
iku artikel Kartini kabeh. Gak onok sing
Kartono, ta?”
Aku tersenyum kecut mendengar
candaan itu. Tiga hari lagi memang peringatan Hari Kartini. Redaktur itu
kemudian memintaku menaruh karyaku di atas tumpukan karya penulis lainnya. Aku
pamit dan menuruni tangga kantor itu. Dalam langkah setengah down, tiba-tiba di benakku terbayang puluhan
pedagang kaki lima yang berderet-deret menjual baju di seputar Tugu Pahlawan.
“Rezeki tidak bakal ketukar. Kalau
memang milikku, pasti naskahku yang dipilih,” kata batinku, entah optimisme
entah menghibur diri.
Persis pada 21 April kubuka
halaman tengah harian sore itu. Aku melonjak kegirangan. Oi, tulisanku dimuat! Maka
adegan di ruang redaksi opini itupun terputar ulang di memoriku. Ada kebanggaan menyusup di hati, ternyata
karyaku mampu mengalahkan sekian amplop Kartini di meja Pak Harto.
Itulah salah satu pengalaman
menulis artikel di media. Setelah sering menulis, aku kian paham bagaimana
membuat tulisan yang punya kans kuat untuk dimuat. Aku memperhatikan aktualitas
dan tanggap isu-isu yang sedang ramai diperbincang orang. Aku juga menggunakan trik mengirim naskah secara
istiqomah pada hari yang sama dan dengan
warna amplop yang sama.
Aku berharap redaktur dapat
mengenali keberadaanku dan konsistensiku. Alhamdulillah
harapanku terkabul. Pada tahun berikutnya, tulisanku hampir selalu
menghiasi Rubrik Psikologi pada Surabaya Post
Minggu. Teman penulis lain mengira aku telah direkrut menjadi penulis tetap
di situ. Waktu itu satu tulisan dihonori Rp 25 ribu. Jika sebulan terdapat lima
hari Minggu maka aku terima kiriman wesel Rp. 125 ribu. Itu angka yang lumayan besar.
Setara dengan gajiku menjadi guru honorer yang mengajar pada tiga SMEA di
Madiun.
Pada akhirnya kusadari bahwa menulis
sesungguhnya keterampilan biasa, seperti halnya skill berenang atau kemampuan naik sepeda pancal. Yang penting
adalah sering mempraktikkannya. Kelak, ketika menjadi redaktur harian sore Surabaya Post, aku tahu bahwa wartawan
baru, yang belum pernah menulis berita, rata-rata butuh waktu sekitar dua bulan
untuk bisa menghasilkan sebuah berita yang layak muat. Setelah itu, sejalan
dengan pengalaman lapangan dan bertambahnya jam terbang, skill menulis mereka biasanya melaju dengan signifikan.
Menulis itu berkarya, bukan
bekerja. Sebuah karya akan menimbulkan kebanggaan bagi sang pembuatnya.
Terbukti, hingga kini, meski sudah tak terhitung lagi jumlah tulisanku telah
dimuat, tetapi aku tetap saja menikmati kegembiraan, manakala melihat namaku
terpampang di media cetak. Ternyata narsis ya. (*)
sumber foto: ksatria610.files.wordpress.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon