Nama punya selaksa makna. Tapi apa makna nama bagi seorang anak desa dengan
taraf ekonomi sederhana? Nama dapat dimaknai sebagai hal yang sepele maupun hal yang esensial dan filosofis. Bisa sekadar tanda pembeda
antarindividu satu dengan yang lain, memudahkan komunikasi: Bila dipanggil dari
seberang jalan......hei....Budi.!, yang punya nama langsung menoleh.
Baru-baru ini
orang-orang yang bernama Sugeng mencoba unjuk eksistensi. Ratusan Sugeng
menjalin pertemanan lewat media sosial. Berbekal kesamaan nama mereka membentuk
komunitas Sugeng dengan mengadakan pertemuan darat, membikin acara gembira, dan
diliput televisi.
Namun kadang nama tidak lebih dari deretan nomor absen ratusan ribu
karyawan di pabrik-pabrik konveksi. Nama kehilangan arti, dalam situasi seperti
ini orang seolah telah kehilangan eksistensi. Seorang pengarang kontemporer
Belanda Olga, pernah
melukisan sakitnya “kehilangan nama” ini dalam sebuah cerpennya yang absurd
tapi bagus. Dia mengisahkan seorang
pekerja yang mengalami keterasingan akut dalam dunia kerjanya. Lenyap jati
dirinya tenggelam di tengah puluhan ribu pekerja di sekelilingnya yang
menggunakan seragam kerja yang sama, aktivitas yang sama, bahkan dengan jalan
pikiran yang sama.
Tidak betah dalam situasi demikian dia nekat
membunuh rekan sekerjanya. Anehnya tak seorangpun tahu. Sebab siapa peduli
dengan hilangnya (cuma) satu nomor, nomor absen karyawan? Ya,
sebagian besar orang-orang modern agaknya telah menjadi sekadar nomor
registrasi, NIP (nomor induk pegawai),
yang wajib melakukan finger print dengan menempelkan jempol jari ke mesin presensi setiap pagi dan setiap bel
dering pulang kerja berbunyi.
Padahal nama adalah sebuah harga diri, bahkan gengsi.
Ini tecermin dari ungkapan: “Ini mempertaruhkan nama saya.” Nama sesungguhnya
juga berarti sebuah eksistensi. Namalah simbol paling eksplisit dan mudah
dipahami bahwa setiap saya dan bukan saya adalah berbeda. Nama
membedakan seeorang dengan seseorang lainnya, antara aku dengan liyan (other). Anak kecilpun tahu bahwa dirinya beda
dengan individu lainnya lantaran dia memiliki nama. Bahkan bila di sekolah dia
bertemu dengan teman yang namanya persis sama, dia tetap bisa membedakan
kediriannya dengan diri siswa lain itu.
Ada nama baik ada nama buruk, ada nama kota ada
nama ndeso. Tapi semua itu relatif.
Nama bisa mengandung citra, cita rasa tertentu. Nama Kelly, Ketty, jelas beda
nuansanya misalnya dibanding dengan Maimunah atau Istiqomah. Greace tentu beda
dengan Kurnia meski sebetulnya maknanya tak jauh beda.
Tetapi bagi orang tuaku makna nama rasanya tidaklah seserius dan serumit
itu. Bikin namapun tidak perlu panjang-panjang. Cukup satu kata. Mirip mengisi
teka-teki teki silang, tujuh huruf mendatar: ADRIONO.
Menurut bapak Aderi, bapakku, semua nama itu baik. “Tetapi kalau bisa hindari nama yang
mengandung kata dur,” kata Bapak
suatu saat.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena dur itu jelek. Ungkapan arek gak duwe dur itu artinya anak tidak
punya tata krama,” katanya.
Dalam dunia pewayangan nama-nama berawalan dur seolah membenarkan statemen bapak. Pasukan Kurawa yang mempretesentasikan
perangai buruk kebanyakan bernama dur. Ada Duryudana, raja Astinapura yang
sewenang-wenang. Ada Dursasana, sosok pejabat kerajaan yang pekerjaaan cuma
tertawa ngakak tapi tidak becus kerja. Lalu yang fenomenal tentu pendeta Durno,
karakter pendeta atau penasihat
spiritual yang cerdik tapi culas dan licik.
“Juga kalo bisa,” kata
bapak melanjutkan, ”hindari huruf m,
mo.” Mungkin saja “mo” itu berasosiasi dengan pantangan: moh lima, emoh lakukan
lima perkara. Larangan agama yang
diwejangkan Sunan Ampel (1401-1481) untuk pribadi-pribadi yang ingin selamat
dunia akhirat. Moh lima adalah moh maling, moh main,
moh madon, moh madat, dan moh mabuk. Kita dilarang, sebab itu memang maksiat
berkategori dosa besar yaitu mencuri, berjudi, main perempuan, hingga mabuk-mabukan
narkoba. Maka bapak kurang suka
dengan tetangga kami yang bernama Darmo, Atmo, atau Sarmo. Terbukti nama-nama itu
track record-nya memang merah. Aku waktu itu mengangguk saja tanda setuju.
Tapi waktu itu aku belum
kritis misalnya dengan usil mencoba membantah “Bagaimana dengan nama Muhammad
yang huruf mimnya justru doble?” Sayang kami belum sempat diskusi
soal itu hingga bapakku
berpulang.
Mungkin dengan wawasan
seperti itulah orangtua kemudian memberi nama saya “biasa-biasa saja”, Adriono.
Sedang kakak perempuanku Adriyani.
Tetapi penulisan ejaan dua nama tersebut sebetulnya tidak akurat. Yang ini ada cerita tersendiri.
Ejaan Bergeser
Nama asli pemberian
orangtuaku adalah Ardijono (ejaan lama). Katanya ardi itu artinya hardi atau gunung.
Memang kelahiranku ditandai
dengan meletusnya Gunung Agung di Bali pada sekitar bulan Mei tahun 1962. Waktu itu hujan debunya
terasa sampai di Surabaya, tempat kelahiran saya. Orang zaman dulu suka
gampangnya, mengabadikan peristiwa alam untuk nama anaknya, maka jadilah nama
Ardijono.
Terus, nama kakakku yang benar adalah Adriani. Mungkin ini
otak-atik dari nama bapakku
sendiri yaitu Aderi lalu ditambahi ani. Atau mungkin juga terinspirasi dengan
nama sahabat Ibu Kartini, tempat curhat surat-menyurat pendekar emansipasi
wanita itu yang kemudian dikumpulkan menjadi buku mashur Door du is ternit toot ligh itu. Ini masuk akal,
kendati tergolong orang jadul, ayahku sudah termasuk kutu buku, minat bacanya tinggi.
Dengan penghasilan yang tidak pasti beliau masih memaksakan diri berlangganan
majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat.
Tapi bukan makna itu
yang menarik, melainkan proses perubahan nama kami berdua yang unik. Semenjak
SD kami berdua bersekolah dalam satu kelas. Berbarengan. Masuk kelas satu dalam tahun yang sama. Bukan
lantaran kakakku yang bodoh
lalu tidak naik kelas, tetapi aku yang lompat. Kakakku
belajar di TK lunas dua
tahun, sedang aku cuma kelas nol kecil langsung masuk SD. Lompatan ini
juga bukan lantaran saya cerdas lalu dimasukkan jalur cepat akselarasi. Semua
serba kebetulan. Ketika sekolah TK kami sekeluarga tinggal di Surabaya tepatnya kontrak di Jl. Bagong
Ginayan. Barangkali tak mampu bertempur di kota besar, akhirnya kami sekeluarga
surut pulang ke desa sejuk emak saya di Kalirejo, Kec. Lawang, Kab. Malang. Di desa ini belum
ada TK. Maka daripada nganggur di rumah, aku dititipkan ke sekolah, langsung kelas I.
“Nanti kalau tidak
bisa mengikuti pelajaran. Ya, tidak usah dinaikkan,” kata Bu Aripah, ibu
kandungku, yang ternyata menjadi rekomendasi yang jitu. Maka
jadilah kami sekelas bersama dengan
nomor absensi yang urut: Adriani lalu Ardiyono. Agak susah dilafalkan
lidah, apalagi lidah Jawa, untuk
melafalkan secara benar dua nama itu secara bergiliran dalam tempo yang cepat
saat mengabsen: “Adriani!”
“Ada, Pak!” kata kakak saya dari belakang
“Ardiyono!”
“Hadir, Pak,” kataku yang duduk di depan lantaran bertubuh kecil.
Gara-gara sering
keliru melafalkan kedua nama itu, maka Pak Guru mengambil langkah pintas.
“Sudah biar gampang, saya panggil saja Adriani dan Adriono, saja.” Maka sejak
saat itu namaku bergeser
hurufnya. Sebagai siswa aku manut saja. Apalagi waktu itu belum dikenal akte
kelahiran, suka-suka orang mengganti nama.
Begitulah, akhirnya
namaku berganti Adriono.
Mungkin nama itu tidak lagi memuat arti gunung tetapi hanya sederet huruf yang --untungnya--
punya rima lumayan bagus. Meski
demikian aku enjoy memakainya. Nanti tatkala
remaja aku berminat
mencari-cari nama keren yang sedianya akan kupakai sebagai sebagai nama populer
bila kelak benar-benar menjadi orang ngetop. Setiap selesai melukis aku selalu menorehkan tanda tangan Yon Aryono.
Dalam pementasan drama aku pernah memakai nama Andri Subangkit. Kupilih nama bangkit karena kelahiran saya persis
pada hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei. Tapi segera kubuang sebab kok mirip dengan nama pemain sepakbola.
Berkupar-kumpar ide mencari nama yang sip tetapi tidak ketemu juga. Belakangan
setelah dewasa aku menyadari
nama itu sudah unik. Tidak banyak (bahkan mungkin tidak ada) orang Indonesia
bernama sama persis denganku. Terbukti saat aku membikin email
di internet Indonesia nama itu masih kosong, belum dipakai netter lain.
Tapi sebetulnya aku
masih punya peluang ganti nama satu
kali lagi. Andai nanti diberi kemudahan
oleh Allah untuk berhaji aku tinggal menambahkan HM di depan namaku. Tidak apa-apa dibilang meniru-niru nama Presiden
HM. Soeharto. (*)
Sumber gambar bilitormey.ie
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon