“KALAU anak saya terlalu aktif
bermain musik, saya khawatir pelajarannya di sekolah jadi terganggu,” kata
seorang walimurid. “Saya juga. Anak saya keranjingan eskul olahraga, jangan-jangan nanti pelajarannya ketinggalan,” curhat
walimurid yang lain.
Ya, hingga kini masih sering kita
dengar kekhawatiran seperti itu dari para orang tua dalam obrolan santai
sehari-hari. Semua orang tua memang berhak untuk waswas terhadap efek yang
bakal timbul pada buah hatinya bila mengikuti suatu kegiatan tertentu.
Apalagi cerita sinetron, film,
atau novel juga kerap memunculkan tokoh anak muda yang sukses di bidang musik, olahraga, atau nonakademik lainnya
tapi digambarkan lemah dalam prestasi akademik di sekolah. Langsung atau tidak langsung hal ini turut
membangun opini yang keliru. Diam-diam terbentuk stigma bahwa siswa yang pandai
bermusik atau berolahraga biasanya rendah prestasi intelektualnya.
Tentu pendapat umum itu tidak
sepenuhnya salah, tetapi tetap tidak bisa dijadikan patokan baku. Sebab dalam
banyak kasus banyak sekali siswa nilai akademiknya tinggi juga jago panggung
musik dan menjadi bintang di lapangan berolahraga. Banyak tokoh dunia juga
dapat dijadikan contoh. Si genius Albert Einstein ternyata juga pintar bermain
biola. Bung Karno yang pandai berorasi (kecerdasan verbal) juga pandai melukis.
BJ Habibie yang pakar di bidang teknologi pesawat juga mampu melahirkan puisi
dan biografi yang menyentuh.
Pendeknya, banyak fakta mampu
mematahkan stigma yang menyatakan bahwa anak-anak yang sibuk bermain musik (mengasah
kecerdasan ritmit-musikal) akan terhambat tujuh kecerdasan lainnya (kecerdasan matematis-logis,
kecerdasan linguistik-verbal, visual-spasial, kinestetik, interpersonal,
intrapersonal, dan naturalis).
Seperti diketahui kecerdasan
musikal merupakan kemampuan individu
dalam menggubah lagu dan musik, bernyanyi dan bermain alat musik, dan dapat
menghargai semua jenis musik, serta memiliki kepekaan yang kuat akan keserasian
dan kesadaran universal tentang berbagai pola kehidupan.
Seiring dengan berjalannya waktu,
kini tabir kebenaran mulai terkuak. Bahkan
sekarang muncul kabar gembira. Dari banyak penelitian, diperoleh hasil bahwa musik
ternyata mampu meningkatkan kecerdasan pada diri anak. Tetapi ada juga yang
masih berpendapat bahwa pelajaran musik adalah efek, bukan penyebab dari
tingginya IQ seseorang .
May Lwin dkk. dalam bukunya How to Multiply Your Child’s Intelegence, mengatakan, ada
bukti ilmiah yang mengaitkan musik dengan kecerdasan yang meningkat dan
prestasi sekolah yang meningkat pada anak-anak kecil. Musik telah
memperlihatkan secara langsung dan konsisten dalam meningkatkan pemikiran
matematis, khususnya keterampilan pemikiran abstrak.
“Seorang psikolog dalam sebuah
studi menemukan bahwa pengajaran piano jauh lebih hebat dari pengajaran
komputer dalam hal meningkatkan keterampilan berfikir abstrak yang akan
diperlukan seorang anak agar unggul dalam matematika dan sains kelak,” tulisnya.
Salah satu studi yang
dipublikasikan secara luas juga memperlihatkan bahwa anak-anak yang kepadanya
diperdengarkan musik selama delapan bulan mengalami peningkatan 46% dalam IQ
spasial, sedang kelompok kontrol yang
tidak diperdengarkan musik yang hanya meningkat 6% saja.
Studi National Academy of Science menyimpulkan, penggunaan latar belakang
musik memberi harapan sebagai alat pembelajaran yang efektif bila digunakan
dalam kaitannya dengan metode pembelajaran konvensional. Pendekatan ini berguna
dalam upaya menguasai bahasa asing, alogaritma matematika, dan konsep sains. Satu
fakta lagi: seorang mahasiswa Hongaria peraih peringkat 1 dalam lomba sains
dunia ternyata mendapat didikan di sebuah sekolah yang kokoh mengintegrasikan
musik dalam kurikulum sejak taman kanak-kanak.
Penelitian eksperimen lazimnya dilakukan
dengan cara membagi objek studi membuat dua kelompok. Satu kelompok sasaran
diberi pelajaran musik, sedang satunya lagi, sebagai kelompok kontrol, tidak mendapat pelajaran musik.
Dilaporkan, sebagian besar hasil
penelitian menunjukkan bahwa pelajaran musik dapat meningkatkan kecerdasan
anak-anak. Namun dalam penelitian
tersebut tidak dijelaskan apakah musik
tersebut yang membawa hasil seperti itu, atau ada faktor lain? Bagaimana bila
pelajaran seni lainya yang diberikan?
Untuk mengkaji
lebih jauh, peneliti Schellenberg
membagi 144 siswa berusia enam tahun dalam dua kelompok. Kelompok
pertama menerima pelajaran keyboard standar, sementara kelompok kedua menerima
pelajaran drama atau ada pelajaran seni lainnya. IQ diukur dari kedua kelompok
sebelum dan sesudah eksperimen berlangsung. Hasilnya ternyata kelompok dengan pelajaran musik menunjukkan
peningkatan IQ yang lebih besar daripada kelompok dengan seni drama.
Pelajaran
musik memang melatih berbagai kemampuan yang memungkinkan berbagai kecerdasan
anak jadi meningkat. Lewat pelajaran musik anak melatih fokus perhatian untuk
jangka waktu yang relatif lama, berlatih membuat notasi musik yang cukup
kompleks. Anak belajar menerjemahkan kode ke pola-pola gerakan yang tepat, mengenali
pola suara, belajar aturan pembentukan pola, menghafal musik, memahami logik
dan pecahan dalam musik, hingga berimprovisasi terhadap aturan-aturan dasar
musik.
Tidak bakat?
“Tapi anak saya tidak bakat
musik, dia juga tak suka nyanyi?” keluh seorang walimurid di sela acara
pembagian rapor di sekolah. Boleh jadi ini sebuah curhatan yang kelewat
pesimistis. Sebab ada studi yang menyodorkan simpulan yang cukup
mengejutkan. Sekitar 85% di antara kita sesungguhnya
memiliki kecerdasan musikal yang cukup untuk memainkan sebuah instrumen
dalam sebuah simfoni orkestra! Tapi
masih menjadi perdebatan apakah memainkan instrumen musik adalah pengalaman
musikal yang mengharuskan fungsi otak yang berbeda (auditori, visual, kognitif,
afektif, dan motorik) yang digunakan secara bersamaan ataukah tidak.
Meski demikian ada bukti melalui
pengamatan MRI bahwa otak musisi yang memainkan suatu instrumen menyebabkan
perubahan psikologis dalam korteks, mungkin dari aktivitas syaraf yang besar sekali
jumlahnya yang terjadi ketika musisi bermain musik.
Peneliti lain juga memperlihatkan
bahwa pada hakikatnya setiap anak dilahirkan dengan kecerdasan musikal yang
cukup untuk mencapai kompetensi dasar
atau kemampuan untuk menyanyi menurut kunci dan mempertahankan derap yang
tepat. Anak-anak belajar menyanyi secara alami.
Menyanyi mengajarkan ketepatan tinggi rendahnya nada dan membantu dalam
melatih telinga dan belajar mendengarkan musik di pikiran seseorang.
“Ketika kita membina suara anak
itu, kita juga membantu mengembangkan kecerdasan musik yang kemudian dapat
bergeser ke bidang lain seperti memainkan sebuah instrumen atau alat musik,” kata
May Lwin.
Jauh-jauh hari, penemu teori
kecerdasan majemuk Prof Howard Gardner dan banyak ilmuwan lainnya, sudah
meyakini bahwa kecerdasan musikal
adalah pusat pengalaman manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan
individu. Kecerdasan musikal memiliki keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan
lainnya.
Dia katakan, kita sering “merasakan”
musik dengan tubuh kita melalui gerakan-gerakan tubuh yang sesuai dengan irama
musik (kecerdasan kinestetik), misalnya menggeleng-gelengkan kepala,
menghentakan kaki, menepuk-nepuk paha, menari, berjoget dan aneka gerak tubuh
lainnya. Kita juga sering “merasakan” musik dengan emosi kita, misalnya
menangis, merinding, gembira, atau ekspresi emosi lainnya ketika mendengar
musik tertentu yang sesuai (kecerdasan emosional). “Kemampuan bermusik berhubungan
dengan memori suara. Sekian persen dari apa yang didengar seseorang akan masuk
dalam alam bawah sadarnya dan menjadi bagian pokok dari daya ingatnya,”
kata Gardner.
Yang jelas,
dengan memiliki kecerdasan musikal seseorang dapat memperoleh berbagai manfaat.
Pertama, memiliki pengetahuan
bagaimana cara meredam stres dan cara
mengasah suasana hati. Kedua,
meningkatkan kreativitas dirinya maupun orang lain. Ketiga, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan belajarnya seperti mengingat
berbagai informasi tentang orang, tempat, benda, dan sebagainya. Kelima, memiliki pengetahuan untuk
memperdalam hubungan personalnya dengan orang lain (kecerdasan intrapersonal).
Lalu muncul pertanyaan tambahan
dari seorang walimurid: “Kapan sebaiknya anak diajak mengambil pelajaran instrumen musik?” Para ahli menjawab,
kemungkinan paling berhasil dalam belajar instrumen musik adalah pada
tahun-tahun sekolah dasar. Argumen yang dimukakan: menguasai tantangan teknis
dari instrumen dan juga belajar membaca musik dapat lebih cepat dilakukan
bersamaan ketika ketrampilan membaca dan ketrampilan motorik halus sudah
dimiliki anak didik.
Nah, bagaimana dengan buah hati
Anda? (Adriono)
Penulisa adalah pengembang pembelajaran inovatif.
Artikel ini dimuat dalam
majalah musik Staccato edisi Mei 2015.
Sumber foto: leonelpatric.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon