Sastra bisa tumbuh di mana saja. Termasuk di
lingkungan teknik maupun di kalangan orang-orang eksakta. Bukan mustahil karena sastra
memang medium universal. Semua orang berhak menggunakannya sebagai sara ungkap
gagasan maupun cara mengekspresikan pemikirannya.
Contohnya, di kampus teknik ITS Surabaya ini.
Dua staf pengajarnya meluncurkan novel pada Sabtu (7/1) siang, ruang Creative
Co Working Space (CCWS) , Perpustakaan ITS. Fisikawan Profesor Sugimin WW menghadirkan
novel dokumenter berjudul “NDARA MANTRI
GURU” dan Dra. Lubna Algadrie, MA. menyuguhkan karya “FROM SYDNEY WITH LOVE” (Syarifah What is Bothering You).
Acara peluncuran dan diskusi buku yang diadakan
penerbit Pendar Asa Komunikasi ini berlangsung seru dan hangat. Dihadiri
undangan dari berbagai latar belakang profesi, ada guru besar, akademisi, guru
penggerak, mitra kerja, sastrawan, awak televisi dan media, mahasiswa, dan
masyarakat umum.
Novel Ndara Mantri Guru berisi kisah inspiratif tentang lika-liku anak ndesa level bocah angon yang sukses menerobos sekat strata sosial melalui jalur pendidikan. Meski sang tokoh “aku” kelihatannya bercerita tentang diri pribadi, tapi secara tidak langsung juga terbawa setting kondisi sosial ekonomi saat itu: era kolonial Belanda, zaman Jepang, hingga masa kemerdekaan.
Jadi tergambar bagaimana kehidupan sekolah rakyat tempo dulu, atau keluarga sugih yang jatuh miskin karena disatroni kecu dan grayak (perampok). Tentang cara hidup anak kaum abangan yang gemar puasa patigeni, rajin mengaji tetapi tidak sembahyang. Falsafah melik nggendhong lali, hingga susah payah mencari Tuhan.
Sedang From Sydney with Love mengangkat adat dan kehidupan keluarga Arab habaib di Indonesia. Tentang keluarga yang masih teguh berprinsip menjaga pertalian keluarga berdasar hubungan darah (nasab). Seorang syarifah seharusnya bersanding dengan seorang sayid. Pasangan yang sepadan (se-kufu), supaya martabat keluarga sebagai habaib terpelihara. Jika melanggar, perempuan syarifah harus rela melepas nasabnya, tidak berhak lagi menyandang gelar marga di belakang nama putra-putri yang dilahirkannya.
Budaya tersebut kemudian diramu dalam setting dunia global di Australia, sehingga problem “cross cultural”nya jadi terasa kompleksitasnya. Kabarnya, novel ini sedang diminati seorang produser. Jadi ada kemungkinan bakal diangkat menjadi film layar lebar.
Diskusi buku kali ini terasa beda nuansanya. Tidak banyak terbahas aspek susastra dan kebahasaannya. Boleh jadi karena audiensnya heterogen, dan mayoritas orang umum. Tetapi toh tetap gayeng. Ulasan selayang pandang dari penerbit dan sambutan ringkas dari penulis disimak oleh hadirin dengan antusias. Peserta aktif bertanya dan mengapresiasi. Mereka umumnya tertarik menyoroti substansi masalah yang diungkap dalan dua novel tersebut.
Malah ada sisi lain yang patut dicacat. Karya tulis dari dua pensiunan dosen ITS ini justru memancing orang lain untuk ikut-ikutan membuat buku. Padahal, konon, salah satu ciri buku yang baik adalah buku yang dapat mendorong pembaca untuk ingin membuat karya serupa. Rupanya Prof Gimin dan Bu Lubna telah menjelma menjadi sosok “guru penggerak” karena keduanya melewat tiga fase: “tergerak – bergerak - menggerakkan”.
Hatinya tergerak ingin menuliskan sesuatu demi mewariskan pesan kepada pembaca, kemudian benar-benar bergerak hingga menghasikan buku novel. Akhirnya karya nyata itu terbukti mampu menggerakkan orang lain, setidaknya bagi sejumlah undangan yang menghadiri peluncuran buku kemarin, untuk bikin buku.
Ya, sastra memang bisa tumbuh di mana saja.
Termasuk di dalam pikiran siapapun yang tiba-tiba dihinggapi oleh inspirasi
cemerlang. Bahkan boleh jadi, kelak semua orang akan “nyastra” pada waktunya. (*)
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon