Tiga orang sahabat tengah berjalan-jalan di pasar burung. Tidak sengaja mereka menyaksikan sangkar besar berisi sejumlah burung cinta (lovebird) dengan aneka bulu warna yang indah menyala. Burung itu terlihat dekat berdampingan. Mesra berdua-duaan bersama pasangan masing-masing. Malah ada yang saling suap-menyuapi. Tiga sahabat itu pun bergegas mendekat karena tertarik.
Sahabat A spontan berteriak, “Wow… cantik banget. Warna-warni sungguh menawan.” Segera diambilnya smartphone di kantong lalu dipotretnya “betet mini” itu berulang kali. Diam-diam dia terinspirasi untuk melahirkan sebuah karya cipta.
Sedang sahabat B langsung tersulut pikirannya: ”berapa ya harganya?” Dia pun mendekati pedagang dan bertanya beberapa hal, termasuk bila memborong dalam partai besar. Diam-diam dia menemukan peluang dagang yang bakal berbuah uang.
Sementara sahabat C tertarik mencermati perilaku burung yang berasal dari Afrika dan Madagaskar itu. Lalu tebersit tanya dari batinnya: Mengapa mereka saling menyayangi terhadap pasangan masing-masing? Apakah cinta dan kesetiaan merupakan naluri yang sudah given dari sononya, atau sebuah komitmen yang harus diupayakan perwujudannya? Diam-diam dia memetik makna dari tabiat margasatwa.
Sahabat A adalah
sosok yang peka estetika. Dia sensitif terhadap keindahan yang berkelebat lalu
mengendapkannya sebagai ilham, embrio awal dari terciptanya karya besar.
Sahabat B adalah individu
yang peka manfaat. Dia cekatan menganalisis keadaan lalu menemukan peluang yang
menguntungkan dan memberdayakan.
Sahabat C adalah pribadi yang peka nilai. Dia kerap menangkap hikmah di balik benda maupun peristiwa, lalu mencernanya menjadi kesadaran dan kebijakan hidup.
Lalu siapa yang paling beruntung dan bahagia? Tak perlu diperbandingkan. Yang jelas, siang itu ketiganya gembira bersama. Karena masing-masing merasa tengah menemukan hal berharga, meski dalam cara pandang yang berbeda-beda.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
foto: hitput.com dan
vstory.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon