MENDUA



Baru kali ini saya memasuki hari lebaran dengan sikap mendua. Seperti tradisi keluarga lain, istri saya juga menyiapkan kue di meja sepantasnya. Cukup makanan instan supaya tidak ribet. Tujuannya, jelas, untuk suguh demi memuliakan tamu. Tetapi di sisi lain diam-diam saya berharap tidak ada tetangga yang beranjang sana, mengingat kurva korban Covid-19 semakin meninggi, sementara itu ketidakpedulian orang juga meninggi.

Tetapi terus terang saya tidak cukup berani bersikap lugas seperti beberapa teman saya di grup WA, yang terang-terangan mengunggah maklumat pribadi: “(1) omahku pas riyaya tak tutup, (2) ra sah salaman, lewat sosmed wis sah.... (7) manuta karo imbauan pemerentah, ben ndang rampung wabah iki, (8) gek ndang pada sadar ra sah nggawe ilmu ngeyelan.”

Hahaha...tentu saja itu sebuah pilihan sikap, meski orang lain boleh tidak setuju. Tapi menurutku relasi sosial bertetangga itu bukanlah soal “benar dan salah”, tetapi lebih kepada soal “rasa enak dan tidak enak”. Bagaimanapun hubungan kekeluargaan dan pertetanggaan perlu dirawat, meski saat ini menjadi dilematis.

Meski sadar bahwa tradisi silaturahmi unjung-unjung adalah kearifan lokal  yang adiluhung, tapi kali ini saya memilih tidak melakukannya, sebab tidak pergi keluar rumah adalah “variabel terkendali” yang saya miliki. Siapa tahu saya justru menjadi carier corona yang bisa membahayakan orang lain. Lagi pula saya yakin tidak semua tuan rumah merasa nyaman rumahnya dimasuki orang lain. Karena rumah adalah benteng akhir yang aman dari serbuan wabah virus.  

Beberapa saat setelah jam shalat Ied selesai, saya bersiap diri, sebab biasanya inilah waktunya tetangga saling beranjang sana. Ternyata keadaan sepi, orang lebih memilih mengendap di rumah masing-masing. Terbit kelegaan. Tapi menjelang pukul 9 ternyata sejumlah orang pada datang, bergantian. Syukurlah, tidak terlalu banyak.

Rupanya tetanggaku tergolong warga yang well informated, cukup sadar akan pentingnya social distancing. Maka sebagian besar dari mereka berhalal bihalal secara daring  di What’sApp. Sementara sebagian lagi masih tetap bersikeras unjung-unjung. Untungnya mereka menerapkan cara baru. Bersilaturahminya  tanpa salaman. Bertamunya cukup di depan pagar, setelah itu bergeser ke rumah tetangga berikutnya.

Pelan-pelan waswas pun berkurang. Tetapi perasaan tetap mendua. Muncul rasa lega bercampur kecewa. Lega karena terhindar dari kontak fisik, tetapi kecewa sebab tidak bisa melayani tamu dengan sewajarnya. Padahal tamu adalah rezeki dan memuliakannya adalah perbuatan terpuji.  Agaknya inilah konsekuensi yang terpaksa harus dilakoni di tengah pandemi.

Bagaimanapun bencana covid telah memaksa kita untuk beradaptasi dan mengubah sejumlah cara berinteraksi sosial. Barangkali beberapa kegiatan kultural perlu dicari sisi substansialnya agar tetap dapat direalisasi pada era “new normal” nanti.

Substansi anjang sana di saat lebaran adalah upaya mencari ridha antarsesama anak Adam, meminta maaf atas segenap salah dan khilaf.  Bila itu esensi yang dimaksud, maka teknologi komunikasi dapat dijadikan sebagai sarana pengganti. Memang tidak terlalu melegakan, tetapi cukup memadai bila digunakan.

Selain itu, menurut saya sudah saatnya yang dibudayakan tidak hanya “meminta maaf” tetapi juga “memberi maaf.” Meminta maaf tidaklah mudah karena kita harus mengaku salah dan secara mental bersiap memosisikan diri lebih rendah dari orang yang kita mintai maaf.

Akan tetapi “memberi maaf” justru jauh lebih sulit. Sebab kita berada di posisi yang benar, pihak yang didholimi. Memberi maaf berarti  harus rela melepas ego pribadi. Bersedia mengalah sekaligus melepas marah dan dendam bukanlah perkara gampang. Tetapi begitu kita bersedia memaafkan maka kelegaan akan mengembang di rongga hati. 

Dan berita baiknya adalah kegiatan “memaaafkan” tidak harus dengan beranjang sana di hari raya. Cukup melepas kemarahan di dalam hati, memaafkan kesalahannya, minimal secara bertahap. Kemudian, kalau tidak enggan, kirimlah ucapan via daring dengan tulus, “mohon maaf lahir dan batin.”  Setelah itu perhatikanlah apa yang kemudian terjadi pada diri Anda.  

Selamat hari raya Idul Fitri 1441 H

(adrionomatabaru.blogspot.com)












Previous
Next Post »