KHONG GUAN LEBARAN



Selain ketupat dan beduk masjid, barangkali biskuit Khong Guan juga layak diusulkan sebagai ikon Idul Fitri. Pasalnya, biskuit aneka rasa yang dikemas dalam kaleng kotak merah legendaris itu telah setia menghiasi meja ruang tamu Indonesia sejak 1970-an.

Roti marie ini telah menjadi referensi jajanan saya semenjak bocah. Mengisi hari-hari indah berlebaran di desa. Dulu eksistensi kaleng ini begitu prestisius ketika disandingkan dengan toples-toples kami yang berisi kue pan-panan, semprit, dan opak gambir bikinan sendiri, yang terlihat agak bantat dan ukurannya tidak seragam.

Bila ada Khong Guan merah, saya bersama mbakyuku Andriani, berebut membongkar isinya untuk mencari satu rasa istimewa: wafer. Celakanya benda yang kami cari itu selalu berada di bawah dan jumlahnya cuman dua. Keberadaannya memang istimewa, tidak seperti rekan-rekannya sekaleng, hanya wafer ini yang dibungkus plastik bening. Saya membuka plastik itu dengan cara menarik pita coklat secara memutar, persis seperti membuka bungkus rokok. Lalu lupa bismilah hasil buruan itu masuk ke mulut. Hem, wafer berlapis cokelat ini memang mak kreyes. 

Setelah terpuasi sepotong wafer itu selera kami terhadap cookies, krackers, dan lainnya di kaleng tersebut jadi drop.  Tinggal bapakku yang dengan telaten memasukkan kembali kue yang teraduk-aduk tadi, tetapi beliau selalu gagal mengembalikan sesuai formasi semula. Sementara itu saya lebih tertarik mencermati kemasan kaleng yang bergambar ibu dan dua anak yang sedang di ruang makan (di mana bapaknya?). Kemudian saya mencoba mengeja-eja kata “Assorted Biscuits”, yang sayangnya belum sempat kutanyakan artinya kepada guru bahasa Inggris di sekolah.

Kini setelah dewasa saya menemukan secuil hikmah dari semua itu. Bahwa ternyata butuh seporsi keterbatasan untuk merasakan kenikmatan maksimal. Butuh seporsi kesengsaraan untuk mengenyam kebahagiaan. Saya adalah generasi yang pernah susah sehingga paham benar betapa nikmatnya singkong bakar dan rujak ontong (jantung pisang).

Kini, produsen telah menyediakan varian baru, biskuit kaleng yang semua isinya full wafer. Tetapi justru karena itu anak-anak milenial tidak merasakan lagi sensasi berburu harta karun di dalam kaleng Khong Guan. Kiranya, ketersediaan yang berlimpah ternyata hanya membuat kenikmatan menjadi berkurang, bahkan hambar.

Diam-diam ternyata di dalam sekaleng roti itu terdapat permainan psikologis. Kayaknya, hal ini disadari betul oleh produsen. Oleh karena itu sampai kini tetap berlagak “pelit”. Kaleng ukuran 1600 gram itu  hanya diselipi wafer dua biji. Tidak lebih.

Semua tahu selera bocah cepat berubah. Setelah bosan bermain toh saya kembali mendekat ke kaleng merah itu lagi. Membuka tutupnya, pilah-pilih roti, tangan kanan ambil yang berbentuk oval rasa vanila, tangan kiri comot malkist persegi bertabur gula. Lalu pergi dolan lagi.

Sorenya emak mengajar kami cara baru menikmati roti kering itu. Tidak seperti doktrin iklan Oreo  masa kini (diputar-dijilat-dicelupin). Ambil satu jenis kabin, shortcake, atau lainnya, lalu celupkan sebagian ke dalam secangkir teh hangat. Setelah air merasuk, goyang-goyang sebentar. Begitu mau jatuh melumer, cepat-cepat pindahkan ke mulut. Hem, ketergesa-gesaan seperti itulah yang bikin tambah nikmat.

Tetapi betapapun kita selektif, memilah dan memilih biskuit, toh endingnya sama. Pada akhirnya  semua jenis roti baik yang lonjong, bulat,  rasa asin, manis, gurih  akan ludes tak tersisa. Begitulah produk ini mengajarkan kemanfaatan dan optimisme. Bila kita tergolong sebagai pribadi yang tidak terlalu istimewa, bukan jenis “wafer” pujaan, janganlah bersedih. Percayalah, cepat atau lambat, kita pasti akan terserap juga.  Kata “terserap” ini boleh diintepretasi sendiri sesuai konteks dan kepentingan individu masing-masing.

Ketika biskuit sudah habis, rupanya kisah tentang Khong Guan belum berakhir. Ajaib, kaleng bekas roti ini ternyata kembali hadir di meja Lebaran tahun-tahun berikutnya. Tapi isinya sudah beda: rengginang. Tak urung sejumlah tamu kecele dibuatnya. “Wah, ini pembohongan publik namanya,” celetuk teman saya. Tapi anehnya kaleng itu malah dipangku, rengginangnya digiling dengan agresif.

Kaleng-kaleng merah itu seolah tak kunjung hilang, meski lebaran berlalu. Dia muncul sebagai tempat kerupuk di rombong bakul tahu tek, sebagai pot bunga lidah mertua, atau bermetamorfose menjadi cikrak penimpal sampah. Oh ya, juga menjadi bahan meme yang tak habis-habis.

Sebagus-bagusnya benda adalah yang paling bermanfaat bagi kehidupan. Tak pelak, si kaleng Khong Guan termasuk salah satunya. Betapa tidak, dia bisa “reinkarnasi” beberapa kali. Mengalami daur hidup berulang kali dengan tetap menghadirkan kebermanfaatan yang berarti. Siapa tidak ngiri?

(adrionomatabaru.blogspot.com)

sumber meme: fooddetik.com, wowasiknya.com, kompasiana.com.








Previous
Next Post »