Sebagai akademisi tentu telah banyak ilmu yang
dipelajari. Apalagi Prof Dr Mohammad Nuh, DEA tergolong kutu buku. Tetapi agaknya,
kematangan pribadi dan kerendahhatian, membuat Pak Nuh kerap merasa belum punya
cukup banyak bekal untuk menjawab persoalan hidup yang dihadapi.
Di saat mendapat amanat baru menjadi Rektor ITS,
pada 2003, Pak Nuh berusaha mencari pijakan yang kokoh untuk menjalankan
tugasnya. Pertanyaan esensial yang sedang dicari jawabannya adalah: Bagaimana sih seharusnya mengelola pendidikan itu?
Karena dirinya muslim, maka pertanyaan yang lebih substantif adalah: Bagaimana
sebenarnya konsep pendidikan dalam Islam itu?
Sejumlah teori ilmiah dibaca dan teman pakar diajak
berbincang. “Sudah banyak jawaban, tapi gak
onok sing pas, belum ada yang memuaskan hati saya,” katanya. Maka sebagai
muslim dirinya mencoba bertanya langsung kepada “Sang Maha Pemilik Ilmu” dengan
riyadhah khusus, semacam
berkontemplasi dan berfikir secara khusus. Maka pada 2004 dirinya berangkat umrah ke tanah suci. Di samping
berniat menjalankan ibadah, dirinya memang
punya misi khusus, ingin mendapat ilham yang dapat menjawab kegundahan
hatinya.
“Saat di Mekkah, seperti biasa saya melakukan
ritual umrah, tawaf, sai, dan
sebagainya. Tapi saya tidak menemukan tanda apa-apa. Saya terus merenung tapi
tidak juga mendapatkannya. Kemudian saya berada di Madinah berhari-hari, wangsitnya
juga tidak keluar,” katanya mengenang.
Meski demikian tamu Allah ini senantiasa membaca
Al-Quran dan shalawat, di sela shalat wajib. Hingga pada suatu hari, saat
tadarus Al-Quran, dirinya terhenti pada surat Al Baqarah ayat 128. Nuh tersentuh di situ dan tanpa sadar
meneteskan airmata, hingga terpaksa harus membaca ulang beberapa kali.
Robbana
waj’alnaa muslimaini laka wamin zurriyyatinaaa ummatam muslimatallaka wa arinaa
manaasikanaa wa tub’ alainaa, innaka antat-tawwaabur-rohim.
Setelah tangis mereda Pak Nuh pun melanjutkan
tadarusnya. Terlewati sejumlah ayat, sampai tiba di ayat 151, dirinya menangis
lagi.
Kamaaa
arsalnaa fiikum rosuulanmingkum yatluu ‘alaikum
aayaatinaa wayuzakkiikum wa
yu’allimukumul-kitaba wal-hikmata wa yu’allimukum maa lam takuunuu ta’lamun.
Bunyi ayat-ayat tersebut seolah membimbing dirinya,
karena senada dengan pertanyaan yang dibawa sejak dari tanah air. Pak Nuh
mengaku memang belum menguasai secara sempurna bahasa Arab, tetapi dirinya
masih bisa meraba makna ayat-ayat tersebut. Justru yang penting adalah
“persambungan” hatinya dengan ayat-ayat itu.
Al Baqarah
128 berisi doa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang berharap agar Allah mengutus
seorang Rasul yang tilawah, ta’alim, dan tazkiyah.
Ternyata doa tidak langsung mendapat jawaban, tetapi diselingi sekitar 23
ayat-ayat berikutnya. Baru pada ayat ke 151 terjawab: Kamaaa arsalnaa fiikum rosuulanmingkum yatluu....dst.
“Itulah jawaban dari Allah SWT. Begitu selesai
membaca ayat itu, keyakinan saya muncul. Ya, inilah konsep pendidikan dalam
Islam itu,” katanya mantap.
Dijabarkan, pertanyaan Nabi Ibrahim itu dikabulkan
oleh Allah setelah melewati masa 2500 tahun dengan menurunkan Nabi Muhammad
SAW. Menariknya, redaksional urutan jawaban dari Allah SWT berbeda. Bila urutan
permintaan dari Nabi Ibrahim adalah tilawah
- ta’alim - tazkiyah, maka urutan jawaban Allah di Al Baqarah 151 adalah tazkiyah
- tilawah - ta’alim.
“Di situlah saya meyakini bahwa konsep pendidikan itu yang pertama adalah tazkiyah. Menata hati. Atau dalam bahasa
modernnya attitude. Sebab sumber
perilaku adalah attitude. Kemudian
disusul tilawah yang artinya kemampuan
membaca ayat-ayat Allah. Itulah skill,
ketrampilan membaca fenomena alam. Terus ada yang namanya ta’alim yang berarti knowledge,”
katanya.
Kemudian kita semua mengetahui Mendikbud Nuh
meluncurkan Kurikulum 2013. Sebuah kurikulum berbasis kompetensi yang memberi
perhatian secara memadai kepada aspek attitude,
di samping kepada aspek knowlegde dan
skill. (*)
(Dicuplik dari draf buku Biografi Mohammad Nuh,
yang sedang saya kerjakan dengan Cak Sukemi dan Cak Rusdi.)
Sapa : anwar cholil, rini, thomthowi, martadi.
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon