Satu per satu daun berguguran
Jatuh ke bumi dimakan usia
Jatuh ke bumi dimakan usia
Menjelang sahur tadi, terbaca kabar WA Tutik yang menyesakkan itu:
“Abah wis tutup usia, dulur bisdesa.”
Innalillahi, Bpk H. Khusnul Yaqin telah kembali ke Rahmatullah.
Mantan Kepsek PGRI 1 dan pendidik SMKN 1
(SMEA Tjipto) Pasuruan yang berpulang itu adalah pribadi yang baik, humble, grapyak
semanak.
Beliau selalu aktif menghadiri reuni demi reuni Bisdesa
(Pendidikan Bisnis Delapan Satu, IKIP Malang), bukan sekadar turut
berpartisipasi sebagai suami dari Tri Astusi, tetapi pasti lantaran manut dawuhe
Kanjeng Nabi, bahwa semua hendaknya senang menyambung silaturahmi.
Betapa banyak kenangan yang terekam. Kita berbincang gayeng
tentang pendidikan hingga keluhan kolestrerol di teras rumah Mashudi. Guyon
bersama di pantai Perigi, hingga tertawa terpingkal saat outbond di Batu
Malang.
Sungguh, saya bersyukur karena takdir telah mempersaudarakan kita
melalui Bisdesa. Tapi, mengapa Pak Khusnul tergesa pergi, di saat kita tengah
merancang reuni lagi di Banyuwangi, Juni ini?
Sesuai dengan nama Bapak, kami semua berharap njenengan diparingi husnul
khotimah. Wafat di bulan suci, hari jumat lagi, InsyaAllah menjadi isyarat bahwa
Gusti Allah bakal paring ridho. Aamiin.
Kita selalu berupaya ikhlas menerima realitas, bahwa yang
“inalillahi” akan berakhir dengan “roji’un” . Semua milikNya akan kembali lagi
keharibaanNya. Tapi toh mata ini tetap saja basah, mbrebes mili, terbawa sedih.
Selama jalan Abah Khusnul. Dengan iringan doa, yang saya kutip
dari mendiang sahabat tercinta Suhandoko Kojek: “Semoga kita kelak bertemu di
Padang Mahsyar di bawah barisan Muhammad Rasulullah.”
Akhirnya, saya harus menyudahi catatan sedih ini dengan kebenaran
sejati, yang sebetulnya tidak ingin saya tuliskan:
Satu per satu penumpang turun dari Bisdesa.
bukan lantaran tidak menyukai kebersamaan.
tetapi karena masing-masing telah sampai pada ujung perjalanan.(*)
(Bumi Sidoarjo, Adriono)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon