Bertugas jadi tukang survei, untuk sebuah studi mengenai
kondisi transmigran, membuat saya harus melakukan perjalanan panjang. Dari Kota
Martapura Kalimantan Selatan, saya dibonceng tukang ojek melewati kawasan lahan
kelapa sawit dan pinggiran hutan karet, hingga masuk ke lokasi Unit Permukiman
Transmigrasi (UPT) Desa Cinta Puri, Kec. Cintapuri Darussalam, Kab. Banjar. Berapa
kira-kira jaraknya tadi, Pak? “Jauh Pak, sekitar 35 kilo lebih,“ jawab tukang ojek.
Rumah yang saya jujug
berupa rumah panggung kayu, model khas rumah transmigrasi. Tapi tampaknya itu sudah
mengalami renovasi. Saya merasakan kelegaan saat masuk di dalam rumah, Bpk.
Rajudin, seorang Ketua RT yang masih
muda itu.
Darinya saya mendapat data awal cukup banyak, mulai
dari jumlah KK hingga kondisi sosial ekonomi warga setempat. Sayapun diantarnya
masuk ke rumah-rumah tetangga untuk melakukan wawancara. Dari 104 KK di
UPT ini, terdapat 25 KK berasal dari
Jawa Timur (Lamongan, Malang, Probolinggo, dan Nganjuk).
Seusai shalat Magrib, Pak RT mengajak keluar. “Ada undangan pengantin,” kata orang Banjar
ini seraya meminjamkan kopyah kepadaku. Saya mau-mau saja, sepanjang diajak
ketemu orang, maka saya akan dapat kesempatan menggali informasi dari mereka.
Motor kami melewati pematang sawah dan jajaran kebun
karet, sebelum akhirnya parkir di bawah pohon kelapa gading, di halaman rumah papan
bersahaja. Beberapa tetangga sesama transmigran sudah berdatangan, tapi saya
tidak melihat terop atau dekorasi janur penanda orang punya hajatan.
Kami disambut ramah tuan rumah, wong Jowo asal Probolinggo. Dipersilakan
masuk ke ruang tamu sempit yang sudah digelari tikar pandan bersambung perlak platik.
Piring-piring disuguhkan, berisi dua macam panganan saja: kue pukis dan cucur. Selain
itu tersaji beberapa gelas berisi batang-batang rokok siap isap. Tak terdengar bunyi-bunyian musik dari sound system atau tape recorder. Untung aliran listrik sudah masuk di sini.
Segera tebersit rasa haru menyaksikan acara perkawinan
se”sepi” itu. Kami bercanda ringan
dengan sanak kerabat dalam bahasa Jawa campur bahasa Indonesia, mengingat
keluarga yang akan menikah ini berasal dari suku Jawa dan Sunda.
Saya pun berinisiatif mengabadikan momen itu,
karena sejak tadi kuamati tak ada juru foto yang beraksi. Amit nuwun sewu, mohon izin untuk melangkah ke sana ke mari demi mendapatkan angle yang bagus.
Pak Penghulu datang, prosesi akad nikah pun dilangsungkan.
Pengantin pria dipersilakan geser ke tengah. Dia mengenakan kemeja putih songkok
hitam. Wajahnya keras, mungkin sekeras kehidupannya. Pengantin perempuan,
membuntut di belakangnya. Berkerudung hitam dan berjaket merah, tanpa riasan.
Penghulu minta disediakan meja kecil untuk sarana
ijab kabul dan untuk tumpuan penandatanganan surat nikah nantinya. Kerabat sohibul hajat tergopoh mencari benda
yang diminta. Tapi di daerah trans tidak mudah mendapatkan sarana memadai,
bahkan untuk satu meja kecil sekalipun.
Tapi akal selalu mampu mengatasi keadaan. Kardus
bekas kemasan gelas Aqua pun ditengkurapkan, hap, jadilah meja mini. (Mampukah
Anda membayangkan diri Anda sendiri sedang menandatangani buku nikah di atas
kardus air mineral?).
Tapi kesederhanaan tidaklah diidentik dengan
kesedihan. Dalam keterbatasan, para undangan toh tetap berada dalam suka cita, apalagi kedua
mempelainya. Usai akad, kuminta pasangan bahagia itu duduk bersanding rapat di
depan bilik kamar.
“Yang mesra gitu lho,” pinta saya. Yaa.. keduanya
malu-malu kucing. Kupotret beberapa kali. Orang-orang pun ramai menggoda
mempelai, disusul derai gelak tawa. Kiranya cahaya cinta tengah berpendar di
kawasan trans Cinta Puri.
Dalam perjalanan pulang, saya berjanji dalam hati.
Setiba di rumah nanti foto-foto itu segera kucetak lalu kukirim kepada yang bersangkutan, melalui Pak Rajudin.
Saya ingin keduanya segera memiliki dokumen kenangan indah bagi hidup mereka
berdua. Tetapi saya musti bersabar, sebab paket kiriman dari Sidoarjo ke Cinta
Puri paling cepat butuh waktu sepekan. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon