Nomor 1,2,3, dan 4 bukanlah satu urutan bilangan
dengan jarak yang sama. Bahkan jarak antara angka satu dengan angka dua bisa
seperti bumi dengan langit. Dalam dunia politik tampak jelas contohnya. Pada pilpres,
pileg, ataupun pilkada, tidak ada istilah juara 1 dan juara 2. Yang ada adalah
pemenang atau pecundang.
Peraup suara terbanyak tampil sebagai pemimpin yang
berkuasa. Sedang peraih suara terbanyak kedua, betapapun kecil selisihnya,
harus tertunduk pulang sambil menyandang predikat sebagai rakyat yang dikuasai.
Masih untung bila dia pulang dengan wajah sedih,
karena ada juga calon “pemimpin” yang
kalah itu pulang dengan stres berat. Lalu esoknya ketawa ketiwi, bicara sendiri, hanya dengan mengenakan sempak.
Politik memang bukan olahraga, jadi ndak dikenal posisi runner up.
Namun dalam olahragapun ternyata jarak juara 1, 2,
dan 3 bukanlah rentang dengan interval yang konstan. Apakah juara 1 akan bahagia penuh, Juara 2 setengah
bahagia, dan juara 3 seperempat bahagia? Belum tentu. Malah sebuah penelitian
tentang tingkat kebahagian menunjukkan fakta menarik. Tentu yang paling
berbahagia adalah juara pertama. Kemudian, ternyata, yang bahagia berikutnya
adalah juara ketiga, bukan juara dua.
Juara ketiga lebih merasa bersyukur karena mendapat
nomor, meski nomor buncit, ketimbang tidak mendapat sama sekali. Sedang juara
kedua, alih-alih bahagia, dia justru kecewa. Ia menyesali kenapa tidak dapat
mengalahkan juara pertama. Lalu tidak jarang mencurigai pihak lain telah
bertindak curang. Atau mencari-cari kambing hitam, “ah, andai tidak terjadi ini
atau itu pastilah aku yang menang.”
Hampir semua orang menghindari nomor dua. Isteri
manapun pasti emoh di”nomordua”kan, bukan? Hati mendua juga pertanda ketidaksetiaan.
Tetapi selalu perkecualian. Beberapa bisnisman
justru dengan cerdik memanfaakan citra nomer dua sebagai strategi bisnis. Bila ada suatu produk baru mengalami sukses di
pasaran, maka tanpa malu disebut pengekor, dia segera membuntut membuat produk
serupa dengan merek yang dimirip-miripkan.
Harga dibikin lebih murah tetapi dengan kualitas
produk dan layanan yang diupayakan bagus. Dia bersikap seperti pebalap sepeda
yang mengambil posisi nomor dua dengan terus menempel pelari terdepan. Menjelang
finish, ketika momen memungkinkan, pada tikungan tertentu, dia segera menyalip
dan mengambil alih posisi terdepan dan ...memenangkan pasar.
Oh ya, para politisi ternyata juga ada yang memakai
trik serupa. Bersabar menjadi orang nomor dua dengan “rela” menjadi wakil kepala daerah terlebih
dahulu. Padahal kata orang Jawa, wakil itu akronim dari “awak” dan “sikil”. Apa
enaknya jadi badan dan kaki tanpa kepala? Dia hanya boleh berjalan sesuai
kemauan sang kepala, yang celakanya dimiliki orang lain.
Oleh karena itu tugas wakil kebanyakan hanya
menggunting pita. Apa boleh buat, mereka
kudu sabar menunggu giliran momen coblosan periode berikutnya. Syukur-syukur
jika sang kepala berhalangan tetap atau kena OTT KPK. Maka diapun tidak perlu
lama-lama menjadi ban serep. Selamat tinggal nomor dua. (*)
adrionomatabaru.blogspot.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon