Budaya Surabaya adalah budaya arek. Sebenarnya arek itu bermakna anak, tetapi telah terjadi perluasan makna. Berapapun usia seseorang tetap dapat disebut arek. Umumnya warga Surabaya bangga menjadi arek Suroboyo.
Kata teman wartawan, ada cara sederhana untuk
mendeteksi apakah seseorang itu asli arek Suroboyo atau pendatang yang kemudian
ber-KTP Surabaya. Lontarkanlah pertanyaan: Koen
arek endi? (Anda orang mana?). Jika jawabannya, “aku arek Suroboyo”, itu pertanda bahwa dia justru bukan orang
Surabaya. Bahkan boleh jadi dia orang
Sidoarjo, Krian atau sekitarnya.
Sebab, jawaban penduduk asli
Surabaya cenderung lebih spesifik menunjuk kepada nama kampung kelahirannya.
Umpamanya, “aku arek Wonokromo, arek Tambaksari, atau aku arek Montero.” Lho, memang ada
kampung Montero? Ada. Petemon Erte Loro (RT 2).
Arek adalah salah satu subkultur
yang ada di Jawa Timur. Provinsi Jatim memiliki subkultur yang cukup banyak.
Ada Subkultur Mataraman yang berkembang di kawasan Jatim bagian barat
seperti Nganjuk, Kertosono, Kediri,
Madiun, Ponorogo, Blitar, Trenggalek, dan Pacitan. Ada subkultur Madura di Pulau Madura. Sedang
warga Madura yang merantau ke kawasan
Tapal Kuda (Probolinggo, Lumajang, Jember dan sekitarnya) membentuk subkultur
Pendalungan.
Di sekitar pegunungan Bromo ada
subkultur Tengger. Banyuwangi juga
memiliki budaya osing dengan bahasanya yang khas. Pulau Bawean punya subkultur sendiri yang berbeda dengan Madura.
Adapun subkultur arek berkembang di kawasan Jombang, Mojokerto, Gresik,
Surabaya, Sidoarjo, Pandaan, sampai ke Malang selatan.
Dari segi dialek, bahasa arek
terdengar lebih kasar dibanding dengan bahasa penduduk subkultur Mataraman. Mereka
menyebut boso Suroboyoan. Orang
Surabaya menyadari hal itu dan menganggapnya sebagai pembawaan yang sulit
diubah. Oleh karena itu mereka kerap
dibikin kikuk dan tersipu malu manakala harus berbahasa halus (krama inggil) dengan lawan bicaranya
yang berasal dari Jatim kulonan. Apalagi
kalau sampai ketemu calon mertua atau besan dari Solo atau Yogyakarta. “Sepurane
ya, aku iki wong kasaran, Rek. Wong Suroboyo gak isa basa alus,” ujarnya.
Maksudnya, minta maaf karena tidak dapat bertutur kata dengan halus dan sopan.
Dalam hal tata krama (unggah-ungguh), budaya arek juga
terlihat lebih egaliter dan tidak terlalu hirarkis. Hubungan antara anak dengan
orang tua cenderung lebih cair. Kebanyakan anak Surabaya menggunakan bahasa ngoko (bahasa antar orang sebaya) bila
berbicara dengan orang tua maupun dengan embahnya. Bahkan dengan gurunya di
sekolah kebanyakan juga demikian. Ini beda jauh dengan bocah Jawa Tengah yang sudah pintar berbahasa halus kepada bapak
ibu maupun orang yang lebih tua.
Jadi jangan kaget jika suatu saat
mendengar ada remaja Surabaya yang kehilangan sebungkus rokok lalu menuding
sang ayah sebagai pencurinya. “Rokokku mbok
colong, yo Pak? Ngawur ae bapak ini.”
Anehnya, bapak tidak tersinggung, malah dengan diplomatis dia berkilah, “Aku gak nyolong, Dul. Iku maeng mek katut
nang kesakku.” Sang bapak membela diri bahwa dia tidak mencuri, hanya rokok
tersebut secara tidak sengaja masuk kantongnya. Ah dasar, bapak dan anak
sama-sama “ahli hisap.”
Tetapi pola relasi seperti itu
bukan berarti hubungan antaranggota keluarga mengabaikan adab sopan santun.
Mereka tetap saling menghormati, hanya caranya yang mungkin tidak sehalus
budaya daerah lain. Di balik bahasanya yang kasar, bahkan kadang diselingi
umpatan cak-cuk, sesungguhnya orang Surabaya itu baik hatinya.
Mereka umumnya bersifat terbuka, blak-blakan. Segera nyeplos begitu ada yang tidak berkenan di hati, tetapi dia dapat
segera melupakan, tanpa dibebani rasa dendam.
Jadi, jika selama mengikuti
pertemuan ilmiah tahunan ini Anda
mendapat perkataan dan perilaku yang terasa kurang sopan saat berinteraksi
dengan orang Surabaya, ya harap
maklum. Memang begitulah pembawaan dan
atmosfirnya. Nisor meja onok ulane, ojok
gela wis carane (di bawah meja ada ularnya, jangan kecewa memang sudah
begitu caranya).
Namun jika di tempat umum ada
pengasong menawarkan buah atau koran hingga nyaris menyodok hidung Anda, ya
jangan dikira sebagai budaya Surabaya. Itu hanya ulah oknum dan Anda sedang
sial. Selamat mengelus dada (asal bukan dada tetangga). Cak
Adriono
Sumber Foto: joos.today.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon