DI SAAT break syuting, seorang sutradara sebuah televisi nasional bersantai
dengan para kuli pemecah batu, di pinggir kali kawasan Ploso Kuning, Sleman,
Yogyakarta, pada Kamis siang yang terik. Ditariknya rokok separuh batang lalu disodorkan
ke salah seorang dari mereka. Basa-basi pergaulan. Tapi yang ditawari menolak
halus dengan alasan sedang puasa.
"Ufh, sorry, ngapunten!" kata awak televisi itu.
Selera merokokpun jadi lenyap,
berganti dengan tanya: mengapa dalam kerja berat mereka masih menjalani puasa
sunnah Senin-Kemis?
"Dengan tidak makan, apa Sampeyan tidak lemas?"
Dalam bahasa Jawa dia menjawab, "nyedhaki sega kuwi pancen nggarai
rosa, Mas. Tapi ngedohi sega iku nggarai kuwasa." (mendekati nasi itu
memang membuat kuat, Mas. Tetapi menjauhi nasi itu membuat kuasa).
Sang sutradara TV tercenung.
Otaknya mencerna ulang satu-persatu kosa kata: sega-rosa, pasa-kuwasa. Sega atau nasi atau juga makanan lain
memang membuat badan menjadi kuat. Gizi dan karbohidrat adalah sumber tenaga.
Tetapi si pemecah batu tidak
memilih itu. Ia menjauhi nasi, dengan keyakinan puasa membuahkan hal yang lebih
dalam: kuasa. Kuasa menahan nafsu, kuasa mengendalikan diri, memanajemeni
stamina tubuh yang terus bekerja meski prei
makan minum.
Sungguh unik cara pria yang tidak
kekar itu memandang kekuasaan. Sungguh lain nuansanya dengan kekuasaan yang
kini terus diburu, direbut, dan kemudian dipertahankan mati-matian oleh
orang-orang kota yang merasa modern.
Kekuasaan diharu biru setelah
didangkalkan maknanya dengan sedemikian parah. Kekuasaan jadi identik dengan
setumpuk fasilitas, segudang kewenangan dan prestise. Tanda tangan jadi sakti,
perintah jadi berdaya paksa. Berkuasa adalah duduk di puncak singgasana yang
memesona. Kekuasaan lantas jadi impian.
Berkuasa membuat orang jadi rosa, kuat, boleh dan mampu berbuat apa
saja. Dengan kekuasaan (ekonomi) orang-orang berebut sega, menimbun beras, dan BBM. Dengan kekuasaan politik pimpinan
partai berdiplomasi, membangun lobi, mencipta deal-deal politik demi melanggengkan kursi. Dengan kekuasaan
budaya, penguasa mencuci otak massa agar menganut gaya hidup yang mendukung
kepentingan kapitalisme global.
Kekuasaan jadi sarana mendekati
sepiring nasi yang berwujud kekayaan, kemewahan, dan kemapanan. Kekuasaan bukan
lagi dipandang sebagai amanat, seperti selalu diwulangkan para kiai sepuh di pesantren desa.
Kekuasaan memanglah sebuah
keajaiban, siapa yang tak tergiur? Begitu tergenggam dunia langsung berubah.
Semua orang jadi tunduk ngapurancang kepadanya. Bahkan kebenaranpun tak lagi punya
otonom, kekuasaan bebas memelintirnya.
Tapi sayang banyak yang lupa,
sebagai keajaiban kekuasan punya pembalasannya sendiri. Begitu pemegangnya
tidak amanah, lupa daratan, maka akan datang waktunya sang kekuasaan ganti
menendangnya hingga tersungkur ke lembah nista. Saksikan betapa banyak contoh
penguasa kuat yang terguling kemudian menjadi bahan cercaan. Luruh semua kewibawaan, hapus semua prestasi
yang mungkin sempat diperbuat semasa jayanya.
Mereka lupa bahwa berkuasa juga berarti
pengendalian diri. Atau dalam bahasa sang pemecah batu tadi: menjauhi nasi.
Berkuasa adalah dalam kerangka berpuasa untuk kemaslahatan bersama.
Ngeyel
Dalam sebuah pengajian, seorang
santri yang mengaku takut menduduki kekuasaan bertanya, "Gus Mus (KH
Mustofa Bisri), kalau orang-orang memaksa saya menjadi pemimpin, bagaimana
sebaiknya?"
Kiai asal Rembang itu lantas
menyarankan agar diterima saja. Patokannya adalah apabila Anda tidak
meminta-minta kedudukan, isyaallah Allah akan membantumu.
"Tapi bila Sampeyan yang ngeyel jadi pemimpin, begitu terbentur pada masalah, Allah akan
bilang, ya sudah situ urus-urusen
sendiri, wong kamu sendiri yang
kepingin jadi pemimpin," katanya.
Ah, saya jadi khawatir,
jangan-jangan keruwetan yang tidak habis-habis sekarang ini salah satunya ya
karena itu tadi: kita diatur oleh orang-orang yang ngeyel, memaksakan kehendak untuk jadi pemimpin. Lalu Allah ketawa
saja melihat tingkah polanya dalam "mengatasi" situasi dan problema
negeri ini. Naudzulbillah...(*)
Adriono, pemerhati masalah sosial budaya, praktisi jurnalistik.
Sumber gambar: partai nasdem.org
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon