SETIAP zaman memiliki ekspresinya
sendiri. Mungkin karena sekarang jaman edan, maka berbagai ekspresinya pun tak
jauh-jauh dari dunia edan. Lihat saja, suporter
fanatik sepakbola disebut “aremania”,
penghobi mancing dibilang “mancing mania”. Gila kerja disebut “workaholic”, doyan belanja dibilang “shopaholic”, dan penggemar Nidji
ikut-ikutan menyebut diri sebagai “Nidjiholic”.
Padahal maniac dan holic, dalam terminologi
psikologi, adalah bentuk-bentuk dari ketidaknormalan jiwa. Sex maniac adalah sebentuk penyimpangan seks yang berbahaya. Workaholic adalah sosok yang mabuk kerja
tak kenal lelah namun tidak mampu menikmati apa yang diperolehnya.
Dan ada satu kata lagi yang kini
demikian populer: narsis! Betapa banyak orang dengan enteng menyebut narsis
untuk menjuluki orang yang suka nampang, gemar berfoto, atau unjuk diri di
depan umum. Celakanya yang dikatai narsis malah ketawa senang.
Padahal pengertian narsis sungguh
tidak mengenakkan hati. Narsistis adalah pribadi yang kelewatan mencintai dan
memuja dirinya sendiri. Narsis adalah gabungan kesombongan, egoisme, dan
ketidakmatangan emosi. Dirinya diselimuti perasaan superior, rasa lebih hebat
dibanding orang lain.
Kata narsis awalnya dipungut dari
kata Narcissus. Dia adalah putra dewa sungai dalam mitologi Yunani. Rupawan
yang sombong itu menolak cinta Echo. Narcissus tak mengenal arti cinta selain
tergila-gila kepada bayangannya sendiri. Maka sepanjang hidupnya dia terus-menerus
melongokkan wajahnya di permukaan air telaga hingga lupa segalanya.
Yang pasti, kini kian terbuka
peluang jalan menuju narsis. Media sosial memfasilitasi semuanya. Gratis pula.
Malah untuk menunjang kebutuhan narsis, sudah ada tongsis, alias tongkat
narsis. Dengan tongsis, selfie
menjadi lebih keren, selfie rame-rame
(groufie) juga oke.
Akhirnya yang tersaji tinggal dua
opsi: sempurnakanlah narsismu atau ikhlas tidak “eksis” di tengah hiruk-pikuk
jaman edan. (adri)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon