…………………………………………
Di dalam bumi yang hangus hati
selalu bertanya
hari ini maut giliran siapa?
(WS Rendra, Bumi Hangus)
Kemarin Ibu Enny Soetji Indriastuti, Ketua Yayasan Insan Mulia Surabaya mengembuskan napas terakhir, lalu Ibu Bertha Naenggolan, juga sahabat Totok Tegar Susanto. Sebelumnya telah pergi dr Agus Kembar Siam, Pak Guru Sartono, fotografer Basuki, iwan harianto, dan beberapa rekan wartawan. Mas Atok, Mbak Jimung, Pak Pri tetangga dekat, kolega, dan banyak lagi. Anda pasti juga punya daftar nama sendiri yang tidak kalah panjangnya.
Terasalah bahwa usia memang bukan punya kita. Dalam rentang masa yang tidak panjang itulah kita menapaki hidup. Mengisi hari dengan mengambil peran sesuai kapasitas dan takdir masing-masing. Lalu kita berlari mengejar matahari mencari rezeki, memburu sukses, menikmati kesenangan dengan aneka cara dan tingkah polah. Sah saja.
Di tengah kesibukan yang tak kenal henti itu, sesekali kita diingatkan dengan ketidakberdayaan diri melalui kabar kematian. Bahkan di tengah pandemi ini alarm tersebut semakin sering berbunyi. Toa di masjid pun kian kerap menyiarkan pengumuman yang berawalan innalillahi.
Banyak ambisi yang terus kita kejar. Mengumpulkan materi untuk memenuhi kebutuhan dan angan. Merengkuh sukses untuk menemukan kesenangan. Memacu karier demi aktualisasi diri. Hingga bergegas membangun tinggalan (legacy) yang membawa kemanfaatan bersama.
Ketika kabar kematian datang bertubi-tubi, kita dipaksa merenungi. Bahwa jatah kita menghirup udara tidaklah sepanjang yang kita maui. Diam-diam kita diusik untuk memikirkan ulang, untuk apa saja usia yang telah dianugerahkan kepada kita selama ini?
Kiranya, ada satu pertanyaan sederhana yang dapat dijadikan sebagai acuan substantifnya. Yaitu: apakah profesi yang kita lakoni selama ini telah mendorong kita untuk menjadi lebih “manusia” dibanding masa sebelumnya? Apakah jabatan yang kita emban ini telah menjadikan kita menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya? Atau justru kita terdegradasi menjadi sekadar makhluk ekonomi, pemuja ego yang maunya menang sendiri?
Tentu
kita berharap, seiring dengan bertambahnya usia, ke-manusia-an kita secara bertahap
levelnya juga turut bertambah. Syukur-syukur bila bisa meningkat hingga derajat
nan mulia yaitu menjadi hamba Allah, abdine
Gusti.
Jatuh ke bumi di makan usia
Tak terdengar tangis
Tak terdengar tawa
Redalah reda
(Iwan Fals)
gambar:
aliexpress.com
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon