Saya
belum menyukainya, tapi akan berupaya mencintainya, sebab dia idola masa depan.
Dialah buku elektronik (e-book) yang berumah di alam maya. Ini bukan soal pilihan selera tapi kelihatannya
sebuah keniscayaan.
Sebenarnya
e-book sudah hadir cukup lama. Tapi saya penikmat warisan Gutenberg, masih kerasan
membaca kata yang tercetak di kertas. Masih butuh sensasi membuka lembaran buku
lantas melipat pojoknya jika ada perlu. Masih suka klangenan mengirup bau tinta
yang menguar dari koran perawan yang pertama dibuka lipatannya. Padahal temanku sepantaran, Son Andreas,
sudah terbiasa membaca novel di tabletnya, dan sudah pula menjadi anggota perpusnas
digital.
Ini
memang soal habit. Tetapi lambat laun saya juga berubah kok. Membaca berita dan
tulisan warganet sudah dari gawai, serta membaca Catatan Pinggir GM Tempo dari laptop. Cuma minggu pagi masih setia dengan
ritual membaca cerpen dan rubrik udar
rasa di Kompas.
Faktanya,
buku elektronik tengah mendisrupsi buku cetak. Pandemi Corona makin mempercepat
prosesnya. Pembelajaran daring yang makin massif yang pastinya akan butuh buku-buku
daring sebagai sumber belajar. Literasi mengarah ke digital.
Kalangan
penerbit juga tengah bergegas ke sana. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jatim yang
diketuai Bapak Fatkul Anam tengah mengakrabi e-book demi menemukan peluang monetisasi
di sana. Mencermati ekosistem pemasaran konten digital di Indonesia serta
mengadakan workshop membuat konten digital. Kabarnya tahun mendatang porsi
anggaran pengadaan buku elekronika bakal melebihi jatah buku manual. Saya
sebagai praktisi penulis jadi kepingin tahu juga perkembangan duni digital
publisher ini.
Segera
ketahuan bahwa e-book bukan sekadar mengunggah file pdf buku versi cetak ke dunia maya begitu saja. Sebab setiap
medium memiliki karakteristik tersendiri. Menghadirkan teks di gadget butuh sejumlah
penyesuaian isi dan tampilan agar menarik dan nyaman dibaca.
Menurut
Irfan Adam, Head of Content PT Woolu
Aksara Maya, pembaca e-book umumnya
suka naskah yang pendek-pendek. Satu buku satu topik. Jadi, jika materinya buku
panjang sebaiknya direpaket menjadi beberapa berjilid (besar file perjudul
maksimal 20 MB). Perbanyak ilustrasi visual dan grafik.
Ukuran
dan layout pdf buku elektronik juga perlu
dikenali. Disarankan, ukurannya sebesar A5 dengan besar huruf (font) 14 hingga16 point. Sedang jenis hurufnya
cari yang tidak rapat, ramping tidak berkait (sans serif), dan tidak tebal (bold).
“Ini
bukan keharusan ya, tapi ini pertimbangan kenyamanan. Supaya pembaca tidak
bolak-balik membesarkan tampilan dilayar
hapenya. Ukuran itu sudah kami pelajari dari diskusi dengan teman-teman dan
pengalaman,” katanya.
Yang
juga beda dari e-book adalah adanya
fitur bookmark, semacam daftar isi
yang tersistem. Fitur ini memudahkan pembaca untuk langsung klik pada bab yang
diinginkan. Jangan suruh pembaca melakukan skrol berulang-ulang, ketika dia
hendak melanjutkan baca novel yang sudah
sampai pada halaman seratus lebih. Maka disarankan penerbit mulai menyicil
membuat versi e-book dengan aplikasi yang mulai banyak tersedia, salah satunya
dengan e-PUB.
Eh,
tenyata ada sejumlah prasyarat, untuk dapat mencintai e-book.
(adrionomatabaru.blogspot.com)
Sign up here with your email
EmoticonEmoticon