MENIKMATI AKTING KYAI ZAWAWI



 Saya mengenal beliau sebagai penyair kaliber internasional dan sempat menyaksikan beliau membaca puisi masterpiece “Ibu” yang dahsyat itu. D. Zawawi Imron juga sudah saya saksikan sebagai pelukis  andal, dan dulu sempat turut membantu menggelar pamerannya di Hotel Elmi.

Tapi baru tadi siang, saya berkesempatan menyaksikan bakat lain yang ada dalam diri budayawan asal Batang-Batang, Sumenep, Madura itu, yaitu menjadi bintang film.

Judulnya Santri 5 Penjuru (Kemilau Cahaya di Tengah Belantara), produksi Cahaya Alam Film. Pak Zawawi menjadi bintang utama sebagai Kyai Landung, pengasuh sebuah pesantren di Sleman Yogyakarta. Beradu akting dengan bintang muda Rendy Bragi, dengan Yati Surachman, Roy Marten, Ferry Salim, serta dengan lima artis anak-anak.

Film arahan sutradara Wimbadi JP ini bukan besutan baru, tetapi kini film ini telah diambil oleh Kemdikbud  dan diputar di berbagai provinsi  sebagai sarana sosialisasi pendidikan karakter. Sebuah film indah yang banyak menyajikan panorama hijau perdesaan kawasan Sleman yang dibelah aliran Sungai Progo. Lanskap itu semakin bermakna karena ditingkah dengan beberapa penggal puisi karya Kyai Zawawi.

Kita minum air Indonesia menjadi darah kita.
Kita makan buah-buahan dan beras Indonesia menjadi daging kita.
Kita menghirup udara Indonesia menjadi nafas kita.
Kita sujud di atas bumi Indonesia.
Bumi Indonesia menjadi sajadah kita.
(Indonesia Tanah Sajadah)

Memerankan sosok ulama Jawa yang moderat, cinta budaya, dan cinta kepada tanah air, Pak Zawawi Imron tampil keren dan meyakinkan. “Saya harus belajar logat Jawa dulu. Untungnya saya sudah bisa basa krama,” katanya kepada saya, sesaat sebelum tampil dalam forum diskusi karakter dan pemutaran film tersebut di aula UNUSA, Surabaya, Jumat (20/12).

Kyai Landung  adalah sebuah harmoni  yang mendamaikan. Mencontohkan budi pekerti. Mengajarkan cinta kepada sesama makhluk dengan memerdekakan burung dari dalam sangkar. Selain mengaji, santri di ponpesnya diajari membatik, koperasi, main gamelan, hingga memetik hikmah dari karakter-karakter wayang kulit.

Sang Kyai juga  toleran dengan budaya setempat, antara lain dengan membiarkan warga menggelar ritual memukul alat-alat dapur, dengan tujuan agar setan wewe gombel mau mengembalikan dua santri yang hilang di pinggir hutan. Sementara beliau menggunakan ikhtiar melakukan pencarian secara manual bersama santri dan aparat desa, disertai dengan panjatan doa.  

Nah, sekarang saya sudah menyaksikan tiga bakat Pak  Zawawi. Tinggal satu lagi yang belum saya saksikan, padahal beliau sudah menjanjikan kepada saya, tempo hari.

“Mas Adri, Sampeyan kapan-kapan harus main ke rumah saya. Kalau bisa pas bulan purnama. Nanti Sampeyan akan menyaksikan sendiri betapa indahnya memandang Rembulan Tertusuk Ilalang,” ujarnya.

Nggih InsyaAllah, Kyai. 

(adrionomatabaru.blogspot.com)

Previous
Next Post »